LANGIT MAKIN MENDUNG

Cerpen: Kipandjikusmin

LAMA-LAMA mereka bosan juga dengan status pensiunan nabi di surgaloka. Petisi dibikin, mohon (dan bukan menuntut) agar pensiunan-pensiunan diberi cuti bergilir turba ke bumi, yang konon makin ramai saja.

“Refreshing sangat perlu. Kebahagiaan berlebihan justru siksaan bagi manusia yang biasa berjuang. Kami bukan malaikat atau burung perkutut. Bibir-bibir kami sudah pegal-pegal kejang memuji kebesaran-Mu; beratus tahun tanpa henti.”

Membaca petisi para nabi, Tuhan terpaksa menggeleng-gelengkan kepala, tak habis pikir pada ketidakpuasan di benak manusia…. Dipanggillah penanda-tangan pertama: Muhammad dari Medinah, Arabia. Orang bumi biasa memanggilnya Muhammad saw..

“Daulat, ya Tuhan.”

“Apalagi yang kurang di surgaku ini? Bidadari jelita berjuta, sungai susu, danau madu, buah apel emas, pohon limau perak. Kijang-kijang platina, burung-burung berbulu intan baiduri. Semua adalah milikmu bersama, sama rasa sama rata!”

“Sesungguhnya bahagia lebih dari cukup, bahkan tumpah ruah melimpah-limpah.”

“Lihat rumput-rumput jamrud di sana. Bunga-bunga mutiara bermekaran.”

“Kau memang mahakaya. Dan manusia alangkah miskin, melarat sekali.”

Tengok permadani sutra yang kau injak. Jubah dan sorban cashmillon yang kau pakai. Sepatu Aladin yang bisa terbang. Telah kuhadiahkan segala yang indah-indah!”

Muhammad tertunduk, terasa betapa hidup manusia hanya jalinan-jalinan penyadong sedekah dari Tuhan. Alangkah nista pihak yang selalu mengharap belas kasihan. la ingat, waktu sowan ke surga dulu dirinya hanya sekeping jiwa telanjang.

“Apa sebenamya kau cari di bumi? Kemesuman, kemunafikan, kelaparan, tangis, dan kebencian sedang berkecamuk hebat sekali.”

“Hamba ingin mengadakan riset,” jawabnya lirih.

“Tentang apa?”

“Akhir-akhir ini begitu sedikit umat hamba yang masuk surga.”

“Ahk, itu kan biasa. Kebanyakan mereka dari daerah tropis kalau tak salah?”

“Betul, kau memang maha tahu.” “Kemarau kelewat panjang di sana. Terik matahari terlalu lama membakar otak-otak mereka yang bodoh.” Kacamata model kuno dari emas diletakkan di atas meja dari emas pula.

“Bagaimana, ya Tuhan?”

“Umatmu banyak kena tusukan siar matahari. Sebagian besar berubah ingatan, lainnya pada mati mendadak.”

“Astaga! Betapa nasib mereka kemudian?”

“Yang pertama asyik membadut di rumah-rumah gila.”

“Dan yang mati?”

“Ada stempel Kalimat Syahadat dalam paspor mereka. Terpaksa raja iblis menolak memberikan visa neraka untuk orang-orang malang itu.”

“Heran, tak pernah mereka mohon suaka ke sini!” dengan kening sedikit mengerut.

“Tentara neraka memang telah merantai kaki-kaki mereka di batu nisan masing-masing.”

“Apa dosa mereka gerangan? Betapa malang nasib umat hamba, ya Tuhan!”

“Jiwa-jiwa mereka kabarnya mambu Nasakom. Keracunan Nasakom!”

“Nasakom? Racun apa itu, ya Tuhan! Iblis laknat mana meracuni jiwa mereka. (Muhammad saw. nampak gusar sekali. Tinju mengepal). Usman, Umar, Ali! Asah pedang kalian tajam-tajam!”

Tuhan hanya mengangguk-angguk, senyum penuh pengertian –penuh kebapaan.

“Carilah sendiri fakta-fakta yang otentik. Tentang pedang-pedang itu kurasa sudah kurang laku di pasar loak pelabuhan Jedah. Pencipta Nasakom sudah punya bom atom, kau tahu!”

“Singkatnya, hamba diizinkan turba ke bumi?” (Ia tak takut bom atom).

“Tentu saja. Mintalah surat jalan pada Sulaiman yang bijak di sekretariat. Tahu sendiri, dirasai Botes polisi-polisi dan hansip-hansip paling sok iseng, gemar sekali ribut-ribut perkara surat jalan.”

“Tidak bisa mereka disogok?”

“Tidak, mereka lain dengan polisi dari bumi. Bawalah Jibril serta, supaya tak sesat!”

“Daulat, ya Tuhan.” (Bersujud penuh sukacita).

***

Sesaat sebelum berangkat, surga sibuk sekali. Timbang terima jabatan Ketua Kelompok Grup Muslimin di surga, telah ditandatangani naskahnya. Abubakar tercantum sebagao pihak penerima. Dan masih banyak lainnya.

“Wahai yang terpuji, jurusan mana yang paduka pilih?” Jibril bertanya takzim.

“Ke tempat jasadku diistirahatkan; Medinah, kau ingat? Ingin kuhitung jumlah musafir-musafir yang ziarah. Di sini kita hanya kenal dua macam angka, satu dan tak berhingga.”

Seluruh penghuni surga mengantar ke lapangan terbang. Lagu-lagu padang pasir terdengar merayu-rayu, tapi tanpa tari perut bidadari-bidadari. Entah dengan berapa juta lengan Muhammad saw. harus berjabat tangan.

Nabi Adam as. sebagai pinisepuh tampil di depan mikropon. Dikatakan bahwa pengorbanan Muhammad saw. merupakan lembaran baru dalam sejarah manusia. Besar harapan akan segera terjalin saling pengertian yang mendalam antara penghuni surga dan bumi.

“Akhir kata saudara-saudara, hasil peninjauan on the spot oleh Muhammad saw. harus dapat dimanfaatkan secara maksimal nantinya. Ya, saudara-saudara para suci! Sebagai kaum arrive surga, kita tak boleh melupakan perjuangan saudara-saudara kita di bumi melawan rongrongan iblis-iblis di neraka beserta antek-anteknya. Kita harus bantu mereka dengan doa-doa dan sumbangan-sumbangan pikiran yang konstruktif, agar mereka scmua mau ditarik ke pihak Tuhan; sekian. Selamat jalan Muhammad. Hidup persatuan Rakyat Surga dan Bumi.”

“Ganyang!!!” Berjuta suara menyahut serempak.

Muhammad segera naik ke punggung buroq-kuda sembrani yang dulu jadi tunggangannya waktu ia mikraj.

Secepat kilat buroq terbang ke arah bumi, dan Jibril yang sudah tua terengah-engah mengikuti di belakang.

Mendadak, sebuah sputnik melayang di angkasa hampa udara.

“Benda apa di sana?” Nabi keheranan.

“Orang bumi bilang sputnik! Ada tiga orang di dalamnya, ya Rasul.”

“Orang? Menjemput kedatanganku kiranya?” (Gembira).

“Bukan, mereka justru rakyat negara kapir terbesar di bumi. Pengikut Marx dan Lenin yang ingkar Tuhan. Tapi pandai-pandai otaknya.”

“Orang-orang malang; semoga Tuhan mengampuni mereka. (Berdoa). Aku ingin lihat orang-orang kapir itu dari dekat. Ayo, buroq!”

Buroq melayang deras menyilang arah sputnik mengorbit. Dengan pedang apinya Jibril memberi isyarat sputnik berhenti sejenak.

Namun sputnik Rusia memang tak ada remnya. Tubrukan tak terhindarkan lagi. Buroq beserta sputnik hancur jadi debu; tanpa suara, tanpa sisa. Kepala botak-botak di lembaga aeronetika di Siberia bersorak gembira.

“Diumumkan bahwa sputnik Rusia berhasil mencium planet yang tak dikenal. Ada sedikit gangguan komunikasi …,” terdengar siaran radio Moskow.

Muhammad dan Jibril terpental ke bawah, mujur mereka tersangkut di gumpalan awan yang empuk bagai kapas.

“Sayang, sayang. Neraka bertambah tiga penghuni lagi.” Berbisik sedih.

Sejenak dilontarkan pandangannya ke bawah. Hatinya tiba-tiba berdesir ngeri.

“Jibril, neraka lapis ke berapa di sana gerangan?”

“Paduka salah duga. Di bawah kita bukan neraka tapi bagian bumi yang paling durhaka. Jakarta namanya. Ibukota sebuah negeri dengan seratus juta rakyat yang malas dan bodoh. Tapi ngakunya sudah bebas B.H.”

“Tak pernah kudengar nama itu. Mana lebih durhaka, Jakarta atau Sodomah dan Gomorah?”

“Hampir sama.”

“Ai, hijau-hijau di sana bukankah warna api neraka?”

“Bukan, paduka! Itulah barisan sukwan dan sukwati guna mengganyang negara tetangga, Malaysia.”

“Adakah umatku di Malaysia?”

“Hampir semua, kecuali Cinanya tentu.”

“Kalau begitu, kapirlah bangsa di bawah ini!”

“Sama sekali tidak, 9o persen dari rakyatnya orang Islam juga.”

“90 persen,” wajah nabi berseri, “90 juta umatku! Muslimin dan muslimat yang tercinta. Tapi tak kulihat mesjid yang cukup besar, di mana mereka bersembahyang Jumat?”

“Soal 90 juta hanya menurut statistik bumiawi yang ngawur. Dalam catatan Abubakar di surga, mereka tak ada sejuta yang betul-betul Islam!”

“Aneh. Gilakah mereka?”

“Tidak, hanya berubah ingatan. Kini mereka akan menghancurkan negara tetangga yang se-agama!”

“Aneh!”

“Memang aneh.”

“Ayo Jibril, segera kita tinggalkan tempat terkutuk ini. Aku terlalu rindu pada Medinah!”

“Tidak inginkah paduka menyelidiki sebab-sebab keanehan itu?”

“Tidak, tidak di tempat ini!” jawabnya tegas, “rencana risetku di Kairo.”

“Sesungguhnya pdukalah nabi terakhir, ya Muhammad?”

“Seperti telah tersurat di kitab Allah,” sahut Nabi dengan rendah hati.

“Tapi bangsa di bawah sana telah menabikan orang lain lagi.”

“Apa peduliku dengan nabi palsu!”

“Umat paduka hampir takluk pada ajaran nabi palsu!”

“Nasakom, jadi tempat inilah sumbernya. Kau bilang umatku takluk, nonsense!” Kegusaran mulai mewarnai wajah Muhammad.

“Ya, Islam terancam. Tidakkah paduka prihatin dan sedih?” terdengar suara Iblis, disambut tertawa riuh rendah.

Nabi tengadah ke atas.

“Sabda Allah tak akan kalah. Betapapun Islam, ia ada dan tetap ada, walau bumi hancur sekalipun!”

Suara Nabi mengguntur dahsyat, menggema di bumi, di lembah-lembah, di puncak-puncak gunung, di kebun-kebun karet, dan berpusar-pusar di laut lepas.

Gaungnya terdengar sampai ke surga, disambut takzim ucapan serentak:

“Amien, amien, amien.”

Neraka guncang, iblis-iblis gemetar menutup telinga. Guntur dan cambuk petir bersahut-sahutan.

“Naiklah, mari kita berangkat ya Rasulullah!”

Muhammad tak hendak beranjak dari awan tempatnya berdiri. Hatinya bimbang pedih dan dukacita. Wajahnya gelap, segelap langit mendung di kiri-kanannya.

Jibril menatap penuh tanda tanya, namun tak berani bertanya.

***

Musim hujan belum datang-datang juga. Di Jakarta banyak orang kejangkitan influensa, pusing-pusing dan muntah-muntah.

Naspro dan APC sekonyong-konyong melonjak harga. Jangan dikata lagi pil vitamin C dan ampul penstrip.

Kata orang, sejak pabriknya diambil alih bangsa sendiri, agen-agen Naspro mati kutu. Hanya politik-politik Cina dan tukang-tukang catut orang dalam leluasa nyomoti jatah lewat jalan belakang.

Koran sore Warta Bahari menulis: Di Bangkok 1000 orang mati kena flu, tapi terhadap flu Jakarta Menteri kesehatan bungkem.

Paginya Menteri Kesehatan yang tetap bungkem dipanggil menghadap Presiden alias PBR.

“Zeg, Jenderal. Flu ini bikin mati orang apa tidak?”

“Tidak, Pak.”

“Jadi tidak berbahaya?”

“Tidak Pak. Komunis yang berbahaya, Pak!”

“Akh, kamu. Komunisto-phobi, ya!”

Namun, meski tak berbahaya flu Jakarta tak sepandai polisi-polisinya. Flu tak bisa disogok, serangannya membabi buta tidak pandang bulu. Mulai dari pengemis-pelacur-nyonya menteri-sampai presiden diterjang semena-mena.

Pelayan-pelayan istana geger, menko-menko menarik muka sedih karena gugup menyaksikan sang PBR muntah-muntah seperti perempuan bunting muda.

Sekejap mata dokter-dokter dikerahkan, kawat telegram sibuk minta hubungan rahasia ke Peking.

“Mohon ssegera dikirim tabib-tabib Cina yang kesohor, Pemimpin Besar kami sakit keras. Mungkin sebentar lagi mati.”

Kawan Mao di singgasananya tcrsenyum-senyum, dengan wajah penuh welas-asih ia menghibur kawan seporos yang sedang sakratulmaut.

“Semoga lekas sembuh. Bersama ini rakyat Cina mengutus beberapa tabib dan dukun untuk memeriksa penyakit Saudara.”

Terhampir obat kuat akar jinsom umur seribu tahun. Tanggung manjur. Kawan nan setia: tertanda Mao. (Tidak lupa, pada tabib-tabib dititipkan pula sedikit oleh-oleh untuk Aidit).

Rupanya berkat khasiat obat kuat, si sakit berangsur-angsur sembuh. Sebagai orang beragama tak lupa mengucap sjukur pada Tuhan yang telah mengaruniai seorang sababat sebaik kawan Mao.

Pesta diadakan. Tabib-tabib Cina dapat tempat duduk istimewa. Untuk sejenak tuan rumah lupa agama, hidangan daging babi dan kodok ijo disikat tandas-tandas. Kyai-kyai yang hadir tersenyum-senyum kecut.

“Saudara-saudara. Pers nekolim gembar-gembor, katanya Soekarno sedang sakit keras. Bahkan hampir mati katanya. (Hadirin tertawa. Menertawakan kebodohan nekolim). Wah, saudara-saudara. Mereka itu selak kemudu-kemudu melihat musuh besarnya mati. Kalau Soekarno mati mereka pikir Indonesia ini akan gampang mereka iles-iles, mereka kuasai seenak udelnya sendiri, seperti negaranya Tengku.

“Padahal (menunjuk dada) lihat badan saya, saudara-saudara, Soekarno tetap segar-bugar. Soekarno belum mau mati. (Tepuk tangan gegup gempita, tabib-tabib Cina tak mau ketinggalan). Insya Allah, saya belum mau menutup mata sebelum proyek nekolim ‘Malaysia’ hancur lebur jadi debu. (Tepuk tangan lagi).”

Acara bebas dimulai. Dengan tulang-tulangnya yang tua Presiden menari lenso bersama gadis-gadis daerah Menteng Spesial diundang.

Patih-patih dan menteri-menterinya tak mau kalah gaya. Tinggal hulubalang-hulubalang cemas melihat Panglima Tertinggi bertingkah seperti anak kecil urung disunat.

Dokter pribadinya berbisik.

“Tak apa. Baik buat ginjalnya, biar kencing batu PYM tidak kumat-kumat.”

“Menyanyi! Menyanyi dong Pak!” Gadis-gadis merengek.

“Baik, baik. Tapi kalian mengiringi, ya!” Bergaya burung unta.

Siapa bilang Bapak dari Blitar

Bapak ini dari Prambanan

Siapa bilang rakyat-

Malaysia yang kelaparan …!

“Mari kita bergembira….” Nada-nada sumbang bau champagne.

Di sudut gelap istana tabib Cina berbisik-bisik dengan seorang menteri.

“Gembira sekali nampaknya dia.”

“Itu tandanya hampir mati.”

“Mati?”

“Ya, mati. Paling tidak lumpuh. Kawan Mao berpesan sudah tiba saatnya.”

“Tapi kami belum siap.”

“Kapan lagi? Jangan sampai keduluan klik Nasution.”

“Tunggu saja tanggal mainnya!”

“Nah, sampai ketemu lagi!” (Tabib Cina tersenyum puas.)

Mereka berpisah.

Mendung makin tebal di langit, bintang-bintang bersinar guram satu-satu. Pesta diakhiri dengan lagu langgam ‘Kembang Kacang’ dibawakan nenek-nenek kisut 68 tahun.

“Kawan lama Presiden!” bisik orang-orang.

Kemudian tamu-tamu permisi pamit. Perut kenyangnya mendahului kaki-kaki setengah lemas; beberapa orang muntah-muntah mabuk di halaman parkir.

Sendawa mulut mereka berbau alkohol. Sebentar-sebentar kiai mengucap ‘alhamdulillah’ secara otomatis.

Menteri-menteri pulang belakangan bersama gadis-gadis, cari kamar sewa. Pelayan-pelayan sibuk kumpulkan sisa-sisa makanan buat oleh-oleh anak istri di rumah.

Anjing-anjing istana mendengkur kekenyangan-mabuk anggur Malaga. Pengemis-pengemis di luar pagar istana memandang kuyu, sesali nasib kenapa jadi manusia dan bukan anjing!

***

Desas-desus Soekarno hampir mati lumpuh cepat menjalar dari mulut ke mulut. Meluas seketika, seperti loncatan api kebakaran gubuk-gubuk gelandangan di atas tanah milik Cina.

Sampai juga ke telinga Muhammad dan Jibril yang mengubah diri jadi sepasang burung elang. Mereka bertengger di puncak menara emas bikinan pabrik Jepang. Pandangan ke sekeliling begitu lepas bebas.

“Allahuakbar, nabi palsu hampir mati.” Jibril sambil mengepakkan sayap.

“Tapi ajarannya tidak. Nasakom bahkan telah mengoroti jiwa prajurit-prajurit. Telah mendarah daging pada sebagian kiai-kiaiku,” mendengus kesal.

“Apa benar yang paduka risaukan?”

“Kenapa kau pilih bentuk burung elang ini dan bukan manusia? Pasti kita akan dapat berbuat banyak untuk umatku!”

“Paduka harap ingat; di Jakarta setiap hidung harus punya kartu penduduk. Salah kena garuk razia gelandangan!”

“Lebih baik sebagai ruh, bebas dan aman.”

“Guna urusan bumi wajib kita jadi sebagian dari bumi.”

“Buat apa?”

“Agar kebenaran tidak telanjang di depan kita.”

“Tapi tetap di luar manusia?”

“Ya, untuk mengikuti gerak hati dna pikiran manusia justru sulit bila satu dengan mereka.”

“Aku tahu!”

“Dan dalam wujud yang sekarang mata kita tajam. Gerak kita cepat!”

“Akh, ya. Kau betul, Tuhan memberkatimu Jibril. Mari kita keliling lagi. Betapapun durhaka, kota ini mulai kucintai.”

Sepasang elang terbang di udara senja Jakarta yang berdebu menyesak dada dan hidung mereka asap knalpot dari beribu mobil.

Di atas Pasar Senen tercium bau timbunan sampah menggunung, busuk dan mesum.

Kemesuman makin keras terbau di atas Stasiun Senen. Penuh ragu Nabi hinggap di atas atap seng, sementara Jibril membuat lingkaran manis di atas gerbong-gerbong kereta Daerah planet.

Pelacur-pelacur dan sundal-sundal asyik berdandan. Bedak-bedak penutup bopeng, gincu merah murahan dan pakaian pengantin bermunculan.

Di bawah-bawah gerbong, beberapa sundal tua mengerang –lagi palang merah– kena raja singa. Kemaluannya penuh borok, lalat-lalat pesta mengisap nanah. Senja terkapar menurun, diganti malam bertebar bintang di sela-sela awan. Pemuda tanggung masuk kamar mandi berpagar sebatas dada, cuci lendir. Menyusul perempuan gemuk penuh panu di punggung, kencing dan cebok. Sekilas bau jengkol mengambang. Ketiak berkeringat amoniak, masih main akrobat di ranjang reot.

Di kamar lain, bandot tua asyik… di atas perut perempuan muda 15 tahun. Si perempuan … dihimpit sibuk cari … dan … lagu melayu.

Hansip repot-repot …

“Apa yang Paduka renungi.”

“Di negeri dengan rakyat Islam terbesar, mereka begitu bebas berbuat cabul!” Menggeleng-gelengkan kepala.

“Mungkin pengaruh adanya Nasakom! Sundal-sundal juga soko guru revolusi,” kata si Nabi palsu.

“Ai, binatang hina yang melata. Mereka harus dilempari batu sampai mati. Tidakkah Abu Bakar, Umar dan Usman teruskan perintahku pada kiai-kiai di sini? Berzina, laangkah kotor bangsa ini. Batu, mana batu!!”

“Batu-batu mahal di sini. Satu kubik 200 rupiah, sayang bila hanya untuk melempari pezina-pezina. Lagipula….”

“Cari di sungai-sungai dan di gunung-gunung!”

“Batu-batu seluruh dunia tak cukup banyak guna melempari pezina-pezinanya. Untuk dirikan masjid pun masih kekurangan, Paduka lihat?”

“Bagaimanapun tak bisa dibiarkan!” Nabi merentak.

“Sundal-sundal diperlukan di negeri ini ya, Rasul.”

“Astaga! Sudahkah Iblis menguasai dirimu Jibril?”

“Tidak Paduka, hamba tetap sadar. Dengarlah penuturan hamba. Kelak akan lahir sebuah sajak, begini bunyinya :

Pelacur-pelacur kota Jakarta

Naikkan tarifmu dua kali

dan mereka akan kelabakan

mogoklah satu bulan

dan mereka akan puyeng

lalu mereka akan berzina

dengan istri saudaranya

“Penyair gila! Cabul!”

“Kenyataan yang bicara. Kecabulan terbuka dan murah justru membendung kecabulan laten di dada-dada mereka.” Muhammad membisu dengan wajah bermuram durja.

Di depan toko buku ‘Remaja’ suasana meriak kemelut, ada copet tertangkap basah. Tukang-tukang becak mimpin orang banyak menghajarnya ramai-ramai. Si copet jatuh bangun minta ampun meski hati geli menertawakan kebodohannya sendiri: hari naas, ia keliru jambret dompet kosong milik kopral sedang preman kosong milik Kopral setengah preman. Hari naas selalu berarti tinju-tinju, tendangan sepatu dan cacian tak menyenangkan baginya. Tapi itu rutin–. Polisi-polisi Senen tak acuh melihat tontonan sehari-hari: orang mengeroyok orang sebagai kesenangan. Mendadak sesosok baju hijau muncul, menyelak di tengah. Si copet diseret keluar dibawa entah kemana.

Orang-orang merasa kehilangan mainan kesayangannya, melongo.

“Dia jagoan Senen; anak buah Syafii, raja copet!”

“Orang tadi mencuri tidak?” Pandangan Nabi penuh selidik.

“Betul. Orang sini menyebutnya copet atau jambret.”

“Kenapa mereka hanya sekali pukul si tangan panjang? Mestinya dipotong tangan celaka itu. Begitu perintah Tuhan kepadaku dulu.”

“Mereka tak punya pedang, ya Rasul.”

“Toh, bisa diimpor!”

“Mereka perlu menghemat devisa. Impor pedang dibatasi untuk perhiasan kadet-kadet Angkatan Laut.”

“Lalu dengan apa bangsa ini berperang?”

“Dengan omong kosong dan bedil-bedil utangan dari Rusia.”

“Negara kapir itu?”

“Ya, sebagian lagi dari Amerika. Negara penyembah harta dan dolar.”

“Sama jahat keduanya pasti!”

“Sama baik dalam mengaco dunia dengan kebencian.”

“Dunia sudah berubah gila!” Mengeluh.

“Ya, dunia sudah tua!”

“Padahal Kiamat masih lama.”

“Masih banyak waktu ya, Nabi!”

“Banyak waktu untuk apa?”

“Untuk mengisi kesepian kita di sorga.”

“Betul, betul, sesungguhnya tontonan ini mengasyikkan, meskipun kotor. Akan kuusulkan dipasang TV di sorga.”

Kedua elang terbang di gelap malam.

“Jibril! Coba lihat! Ada orang berlari-lari anjing ke sana! Hatiku tiba-tiba merasa tak enak.”

“Hamba berperasaan sama. Mari kita ikuti dia, ya Muhammad.”

Sebentar kemudian di atas sebuah pohon pinang yang tinggi mereka bertengger. Mata tajam mengawasi gerak-gerik orang berkaca mata.

“Siapa dia? Mengapa begitu gembira?”

“Jenderal-jenderal menamakannya Durno, Menteri Luar Negeri merangkap pentolan mata-mata.”

“Sebetulnya siapa menurut kamu?”

“Dia hanya Togog. Begundal raja-raja angkara murka.”

“Ssst! Surat apa di tangannya itu?”

“Dokumen.”

“Dokumen?”

“Dokumen Gilchrist, hamba dengar tercecer di rumah Bill Palmer.”

“Gilchrist? Bill Palmer? Kedengarannya seperti nama kuda!”

“Bukan, mereka orang-orang Inggris dan Amerika.”

“Ooh.”

Di bawah sana Togog melonjak kegirangan. Sekali ini betul-betul makan tangan, nemu jimat gratis. Kertas kumal mana ia yakin bakal bikin geger dunia. Tak henti-henti diciuminya jimat wasiat itu.

Angannya mengawang, tiba-tiba senyum sendiri.

“Sejarah akan mencatat dengan tinta emas: Sang Togog berhasil telanjangi komplotan satria-satria pengaman Baginda Raja.”

Terbayang gegap gempita pekik sorak rakyat pengemis di lapangan Senayan.

“Hidup Togog, putra mahkota! Hidup Togog, calon baginda kita!”

Sekali lagi ia senyum-senyum sendiri. Baginda Tua hampir mati, raja muda togog segera naik takhta, begitu jenderal selesai-selesai dibikin mati kutunya.

Pintu markas BPI ditendang keras-keras tiga kali. Itu kode!

“Apa kabar Yang Mulia Togog?”

“Bikin banyak-banyak fotokopi dari dokumen ini! Tapi awas, top secret. Jangan sampai bocor ke tangan dinas-dinas intel lain. Lebih-lebih intel AD.”

“Tapi ini otentik apa tidak, Pak Togog? Pemeriksaan laboratoris…?”

“Baik, baik Yang Mulia” Pura-pura ketakutan.

“Nah, kan begitu. BPI-Togog harus disiplin dan taat tanpa reserve pada saya tanpa hitung-hitung untung atau rugi. Semua demi revolusi yang belum selesai!”

“Betul, Pak, eh, Yang Mulia.”

“Jadi kapan selesai?”

“Seminggu lagi, pasti beres.”

“Kenapa begitu lama?”

“Demi security, Pak. Begitu saya baca dari buku-buku komik detektif.”

“Bagus, kau rajin meng-up-grade otak. Soalnya begini, saya mesti lempar kopi-kopi itu di depan hidung para panglima waktu meeting dengan PBR. Gimana?”

“Besok juga bisa, asal uang lembur…,” sembari membuat gerak menghitung uang dengan jari-jarinya.

Togog meluruskan seragam-dewannya. Dan gumpalan uang puluhan ribu keluar dari kantong belakang. Sambil tertawa senang ditepuk-tepuknnya punggung pembantunya.

“Diam! Diam! Dokumen ini bakal bikin kalang kabut Nekolim dan antek-anteknya dalam negeri.”

“Siapa mereka?”

“Siapa lagi? Natuurlijk de— ‘our local army friends’. Jelas toh?”

Sepeninggal Togog jimat ajaib ganti berganti dibaca jin-jin liar atau setan-setan bodoh penyembah Dewa Mao nan agung. Mereka jadi penghuni markas BPI secara gelap sejak bertahun-tahun.

Syahdan desas-desus makin laris seperti nasi murah. Rakyat jembel dan kakerlak-kakerlak baju hijau rakus berebutan, melahap tanpa mengunyah lagi.

“Soekarno hampir mati lumpuh, jenderal kapir mau coup, bukti-bukti lengkap di tangan partai!”

***

Sayang, ramalan dukun-dukun Cina sama sekali meleset. Soekarno tidak jadi lumpuh, pincang sedikit cuma. Dan pincang tak pernah bikin orang mati. Tanda kematian tak kunjung tampak, sebaliknya Soekarno makin tampak muda dan segar.

Kata orang dia banyak injeksi H-3, obat pemulih tenaga kuda. Kecewalah sang Togog melihat baginda raja makin rajin pidato, makin gemar menyanyi, makin getol menari dan makin giat menggilir ranjang isteri-isteri yang entah berapa jumlahnya.

Hari itu PBR dan Togog termangu-mangu berdua di Bogor. Briefing dengan Panglima-panglima berakhir dengan ganjalan-ganjalan hati yang tak lampias.

“Jangan-jangan dokumen itu palsu, hai Togog.” PBR marah-marah.

“Akh, tak mungkin Pak. Kata pembantu saya, jimat tulen.”

“Tadinya sudah kau pelajari baik-baik?”

“Sudah pak. Pembantu-pembantu saya bilang, siang malam mereka putar otak dan bakar kemenyan.”

“Juga sudah ditanyakan pada dukun-dukun klenik?”

“Lebih dari itu, jailangkung bahkan memberi gambaran begitu pasti!”

“Apa katanya?”

“Biasa, de bekendste op vrije voeten gesteld, altjid…!”

“Akh, lagi-lagi dia. Nasution sudah saya kebiri dengan embel-embel –. Dia tidak berbahaya lagi.

“Ya, tapi jailangkung bilang CIA yang mendalangi ‘our local army friends’.”

“Gilchrist toh orang Inggris, kenapa CIA dicampuradukkan!”

“Begini, Pak. Mereka telah berkomplot. Semua gara-gara kita– kawan Mao buka front baru dengan konfrontasi Malaysia.”

“Dunia tahu, Hanoi bisa bernapas sekarang. Paman Ho agak bebas dari tekanan Amerika.”

“Kenapa begitu?”

“Formil kita berhadapan dengan Inggris-Malaysia. Sesungguhnya Amerika yang kita rugikan: mereka harus memecah armadanya jadi dua. Sebagian tetap mengancam RRT lainnya mengancam kita!”

“Mana lebih besar yang mengancam kita atau RRC?” Ada suara cemas.

“Kita. Itu sebabnya AD ogah-ogahan mengganyang Malaysia. Mereka khawatir Amerika menjamah negeri ini. “

Soekarno tunduk. Keterangan Togog membuatnya sadar telah ditipu mentah-mentah sahabat Cinanya. Kendornya tekanan Amerika berarti biaya pertahanan negeri Cina dapat ditransfer ke produksi. Dan Indonesia yang terpencil jadi keranjang sampah raksasa buat menampung barang-barang rongsokan Cina yang tak laku di pasaran.

Kiriman bom atom –upah mengganyang Malaysia– tak ditepati oleh Chen-Yi yang doyan omong kosong. Tiba-tiba PBR naik pitam.

“Togog, panggil Duta Cina kemari. Sekarang!”

“Persetan dengan tengah malam. Bawa serdadu-serdadu pengawal itu semua kalau kamu takut.”

Seperti maling kesiram air kencing togog berangkat di malam dingin kota bogor. Angan-angan untuk seranjang dengan gundiknya yang di Cibinong buyar. Dua jam kemudian digiring masuk seorang Cina potongan penjual bakso. Dia cuma pakai piyama, mulutnya berbau angciu dan keringatnya berbau daging babi.

“Ada apa malam-malam panggil saya? Ada rejeki nih!” Duta Cina itu sudah pintar ngomong Indonesia. Dan PBR senang pada kepintarannya.

“Betul, kawan. Malam ini juga kau harus pulang ke negeri leluhur. Dan jangan kembali kemari sebelum dibekali oleh-oleh dari Chen Yi. Ngerti tuh?”

“Buat apa bom atom, sih?” Duta Cina mengingat kembali instruksi dari Peking, “tentaramu belum bisa merawatnya. Jangan-jangan malah terbengkalai jadi besi tua dan dijual ke Jepang. Akh, sahabat Ketua Mao; lebih baik kau bentuk angkatan kelima. Bambu runcing lebih cocok untuk rakyatmu.”

“Gimana ini, Togog?”

“Saya khawatir bambu runcing lebih cocok untuk bocorkan isi perut Cina WNA disini,” Togog mendongkol.

“Jelasnya?” tanya PBR dan Duta Cina serentak.

“Amerika mengancam kita gara-gara usul pemerintah kamu supaya Malaysia diganyang. Ngerti, tidak?” (Cina itu mengangguk). Dan sampai sekarang pemerintahmu cuma nyokong dengan omong kosong!”

“Kami tidak memaksa, Bung! Kalau mau stop konfrontasi, silakan.”

“Tidak mungkin!” PBR meradang, betul or tidak, Gog?”

“Akur, pak! Konfrontasi mesti jalan terus. Saya jadi punya alasan berbuat nekad.”

“Nekad bagaimana?” Cina menyipitkan matanya yang sudah sipit.

“Begitu Amerika mendarat akan saya perintahkan potong leher semua Cina-cina WNA.” Menggertak.

“Ah, jangan begitu kawan Haji Togog. Anda kan orang beragama!”

“Masa bodoh. Kecuali kalau itu bom segera dikirim.”

“Baik, baik. Malam ini saya berangkat.”

PBR mau tak mau kagum akan kelihaian Togog. Mereka berangkul-rangkulan.

“Kau memang Menteri Luar Negeri terbaik di dunia.”

“Tapi Yani jenderal terbaik, kata Bapak kemarin.”

“Memang ada apa rupanya? Apa dia ogah-ogahan juga ganyang malaysia?”

“Maaf PYM hal ini kurang jelas. Faktanya keadaan berlarut-larut hanya menguntungkan RRC.”

“Yani ragu-ragu?”

“Begitulah. Sebab PKI ikut jadi sponsor pengganyangan. Sedangkan mayoritas AD anggap aksi ini tak punya dasar.”

“Lalu CIA dengan ‘our local army friends’ nya mau apa?”

“Konfrontasi harus mereka hentikan. Caranya mana kita bisa tebak? Mungkin coba-coba membujuk dulu lewat utusan diplomat penting. Kalau gagal cara khas CIA akan mereka pakai.”

“Bagaimana itu?”

“Unsur-unsur penting dalam konfrontasi akan disingkirkan. Soekarno-Subandrio-Yani dan PKI harus lenyap!”

Sang PBR mengangguk-angguk karena ngantuk dan setuju pada analisia buatan Togog.

Hari berikutnya berkicaulah Togog di depan rakyat jembel yang haus, penjual obat pinggir jalan, ia berpidato. Ia sering lupa mana propaganda dan mana hasil gubahan sendiri.

“Saudara-saudara, di saat ini ada bukti-bukti lengkap di tangan PYM Presiden PBR tentang usaha Nekolim untuk menghancurkan kita. CIA telah… dengan barisan algojonya yang bercokol dalam negeri untuk menyingkirkan musuh-musuh besarnya. Waspadalah saudara-saudara. Soekarno-Subandrio-Yani dan rakyat progresif-revolusioner lainnya akan mereka musnahkan dari muka bumi. Tiga orang ini justru dianggap paling berbahaya untuk majikan mereka di London dan Washington.

“Tapi jangan gentar, Saudara-saudara! Saya sendiri tidak takut demi Presiden/PBR dan demi revolusi yang belum selesai. Saya rela berkorban jiwa raga. Sekali lagi tetaplah waspada. Sebab algojo-algojo tadi ada di antara Saudara-saudara.”

Rakyat bersorak kegirangan. Bangga punya Wakil Perdana Menteri berkaliber Togog yang tidak gentar mati. Sejenak mereka luput perut-perut lapar ditukar dengan kegemasan dan geram meluap-luap atas kekurangajaran nekolim.

Rapat diakhiri dengan membakar orang-orangan berbentuk Tengku sambil menari-nari. Bendera-bendera Inggris dan Amerika yang susah payah dijahit perempuan-perempuan mereka di rumah, diinjak-injak dan dirobek penuh rasa kemenangan dan kepuasan luar biasa.

Setelah bosan mereka bubar satu-satu. Tinggal pemuda-pemudanya yang melantur kesana kemari, bergaya tukang copet. Mereka ingin mencari tahu algojo-algojo Nekolim yang dikatakan Togog barusan.

Di Harmoni segerombolan tukang becak asyik kasak-kusuk, bicara politik. Kalau di Rusia Lenin bilang koki juga mesti melek politik, di Jakarta tukang-tukang becak juga keranjingan ngomong politik.

“Katanya Dewan Jenderal mau coup. Sekarang Yani mau dibunuh, mana yang benar?”

“Dewan Jenderal siapa pemimpinnya?”

“Pak Yani, tentu.”

“Jadi Yani akan bunuh Yani. Gimana, nih?”

“Aaah! Sudahlah. Kamu tahu apa.” Suara sember.

“Untung Menteri Luar Negeri kita jago. Rencana nekolim bisa dibocorin.”

“Dia nggak takut mati?”

“Tentu saja kapan dia sudah puas hidup. Berapa perawan dia ganyang!” suara sember menyela lagi.

Yang lain-lain tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak Menteri mengganyang perawan dan isteri orang.

***

Pengganyangan Malaysia yang makin bertele-tele segera dilaporkan PBR ke Peking.

“Kawan-kawan seporos, harap bom atom segera dipaketkan, jangan ditunda-tunda. Tentara kami sudah mogok berperang, jenderal-jenderal asyik ngobyek cari rejeki dan prajurit-prajurit sibuk ngompreng serta nodong.

Jawaban dari Peking tak kunjung datang. Yang datang membanjir hanya tekstil, korek api, senter, sandal, pepsodent, tusuk gigi dan barang-barang lain bikinan cina.

Soekarno tiba-tiba kejatuhan ilham akan pentingnya berdiri di atas kaki sendiri. Rakyat yang sudah lapar dimarahi habis-habisan karena tak mau makan lain kecuali beras.

“Padahal saudara-saudara. Saya tahu banyak sekali makanan bervitamin selain beras. Ubi, jagung, singkong, tikus, bekicot, dan bahkan kadal justru obat eksim yang paling manjur. Saya sendiri dikira makan nasi tiap hari? Tidak! PBR-mu ini cuma kadang-kadang makan nasi sekali sehari. Bahkan sudah sebulan ini tidak makan daging. Tanya saja Jenderal Saboer!”

“Itu Pak Leimena di sana (menunjuk seorang kurus kering). Dia lebih suka makan sagu daripada nasi. Lihat Pak Seda bertubuh tegap (menunjuk seorang bertubuh kukuh mirip tukang becak), dia tak bisa kerja kalau belum sarapan jagung.”

Paginya ramai-ramai koran memuat daftar menteri-menteri yang makan jagung. Lengkap dengan sekalian potretnya.

Sayang, rakyat sudah tidak percaya lagi, mereka lebih percaya pada pelayan-pelayan istana. Makan pagi Soekarno memang bukan nasi, tapi roti panggang bikinan Perancis di HI. Guna mencegah darah tingginya kumat, dia memang tak makan daging. Terpaksa hanya telor goreng setengah matang dicampur sedikit madu pesanan dari Arab sebagai pengiring roti. Menyusul buah apel kiriman Kosygin dari Moskow.

Namun rakyat tidak heran atau marah. Seakan sudah jamak seorang presiden harus bohong dan buka mulut seenaknya. Rakyat Indonesia rata-rata memang pemaaf dan baik hati. Kebohongan dan kesalahan pemimpin selalu disambut dengan dada lapang.

Hati mereka bagai mencari, betapa pun langit makin mendung, sinarnya tetap ingin menyentuh bumi. ***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Peradilan Rakyat

Cerpen Putu Wijaya
Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."

Pengacara tua itu meringis.
"Aku suka kau menyebut dirimu aku dan memanggilku kau. Berarti kita bisa bicara sungguh-sungguh sebagai profesional, Pemburu Keadilan."
"Itu semua juga tidak lepas dari hasil gemblenganmu yang tidak kenal ampun!"
Pengacara tua itu tertawa.
"Kau sudah mulai lagi dengan puji-pujianmu!" potong pengacara tua.
Pengacara muda terkejut. Ia tersadar pada kekeliruannya lalu minta maaf.

"Tidak apa. Jangan surut. Katakan saja apa yang hendak kamu katakan," sambung pengacara tua menenangkan, sembari mengangkat tangan, menikmati juga pujian itu, "jangan membatasi dirimu sendiri. Jangan membunuh diri dengan diskripsi-diskripsi yang akan menjebak kamu ke dalam doktrin-doktrin beku, mengalir sajalah sewajarnya bagaikan mata air, bagai suara alam, karena kamu sangat diperlukan oleh bangsamu ini."

Pengacara muda diam beberapa lama untuk merumuskan diri. Lalu ia meneruskan ucapannya dengan lebih tenang.

"Aku datang kemari ingin mendengar suaramu. Aku mau berdialog."
"Baik. Mulailah. Berbicaralah sebebas-bebasnya."

"Terima kasih. Begini. Belum lama ini negara menugaskan aku untuk membela seorang penjahat besar, yang sepantasnya mendapat hukuman mati. Pihak keluarga pun datang dengan gembira ke rumahku untuk mengungkapkan kebahagiannya, bahwa pada akhirnya negara cukup adil, karena memberikan seorang pembela kelas satu untuk mereka. Tetapi aku tolak mentah-mentah. Kenapa? Karena aku yakin, negara tidak benar-benar menugaskan aku untuk membelanya. Negara hanya ingin mempertunjukkan sebuah teater spektakuler, bahwa di negeri yang sangat tercela hukumnya ini, sudah ada kebangkitan baru. Penjahat yang paling kejam, sudah diberikan seorang pembela yang perkasa seperti Mike Tyson, itu bukan istilahku, aku pinjam dari apa yang diobral para pengamat keadilan di koran untuk semua sepak-terjangku, sebab aku selalu berhasil memenangkan semua perkara yang aku tangani.

Aku ingin berkata tidak kepada negara, karena pencarian keadilan tak boleh menjadi sebuah teater, tetapi mutlak hanya pencarian keadilan yang kalau perlu dingin danbeku. Tapi negara terus juga mendesak dengan berbagai cara supaya tugas itu aku terima. Di situ aku mulai berpikir. Tak mungkin semua itu tanpa alasan. Lalu aku melakukan investigasi yang mendalam dan kutemukan faktanya. Walhasil, kesimpulanku, negara sudah memainkan sandiwara. Negara ingin menunjukkan kepada rakyat dan dunia, bahwa kejahatan dibela oleh siapa pun, tetap kejahatan. Bila negara tetap dapat menjebloskan bangsat itu sampai ke titik terakhirnya hukuman tembak mati, walaupun sudah dibela oleh tim pembela seperti aku, maka negara akan mendapatkan kemenangan ganda, karena kemenangan itu pastilah kemenangan yang telak dan bersih, karena aku yang menjadi jaminannya. Negara hendak menjadikan aku sebagai pecundang. Dan itulah yang aku tentang.

Negara harusnya percaya bahwa menegakkan keadilan tidak bisa lain harus dengan keadilan yang bersih, sebagaimana yang sudah Anda lakukan selama ini."

Pengacara muda itu berhenti sebentar untuk memberikan waktu pengacara senior itu menyimak. Kemudian ia melanjutkan.

"Tapi aku datang kemari bukan untuk minta pertimbanganmu, apakah keputusanku untuk menolak itu tepat atau tidak. Aku datang kemari karena setelah negara menerima baik penolakanku, bajingan itu sendiri datang ke tempat kediamanku dan meminta dengan hormat supaya aku bersedia untuk membelanya."

"Lalu kamu terima?" potong pengacara tua itu tiba-tiba.
Pengacara muda itu terkejut. Ia menatap pengacara tua itu dengan heran.
"Bagaimana Anda tahu?"

Pengacara tua mengelus jenggotnya dan mengangkat matanya melihat ke tempat yang jauh. Sebentar saja, tapi seakan ia sudah mengarungi jarak ribuan kilometer. Sambil menghela napas kemudian ia berkata: "Sebab aku kenal siapa kamu."

Pengacara muda sekarang menarik napas panjang.
"Ya aku menerimanya, sebab aku seorang profesional. Sebagai seorang pengacara aku tidak bisa menolak siapa pun orangnya yang meminta agar aku melaksanakan kewajibanku sebagai pembela. Sebagai pembela, aku mengabdi kepada mereka yang membutuhkan keahlianku untuk membantu pengadilan menjalankan proses peradilan sehingga tercapai keputusan yang seadil-adilnya."

Pengacara tua mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti.
"Jadi itu yang ingin kamu tanyakan?"
"Antara lain."
"Kalau begitu kau sudah mendapatkan jawabanku."
Pengacara muda tertegun. Ia menatap, mencoba mengetahui apa yang ada di dalam lubuk hati orang tua itu.
"Jadi langkahku sudah benar?"
Orang tua itu kembali mengelus janggutnya.

"Jangan dulu mempersoalkan kebenaran. Tapi kau telah menunjukkan dirimu sebagai profesional. Kau tolak tawaran negara, sebab di balik tawaran itu tidak hanya ada usaha pengejaran pada kebenaran dan penegakan keadilan sebagaimana yang kau kejar dalam profesimu sebagai ahli hukum, tetapi di situ sudah ada tujuan-tujuan politik. Namun, tawaran yang sama dari seorang penjahat, malah kau terima baik, tak peduli orang itu orang yang pantas ditembak mati, karena sebagai profesional kau tak bisa menolak mereka yang minta tolong agar kamu membelanya dari praktik-praktik pengadilan yang kotor untuk menemukan keadilan yang paling tepat. Asal semua itu dilakukannya tanpa ancaman dan tanpa sogokan uang! Kau tidak membelanya karena ketakutan, bukan?"
"Tidak! Sama sekali tidak!"
"Bukan juga karena uang?!"
"Bukan!"
"Lalu karena apa?"
Pengacara muda itu tersenyum.
"Karena aku akan membelanya."
"Supaya dia menang?"

"Tidak ada kemenangan di dalam pemburuan keadilan. Yang ada hanya usaha untuk mendekati apa yang lebih benar. Sebab kebenaran sejati, kebenaran yang paling benar mungkin hanya mimpi kita yang tak akan pernah tercapai. Kalah-menang bukan masalah lagi. Upaya untuk mengejar itu yang paling penting. Demi memuliakan proses itulah, aku menerimanya sebagai klienku."
Pengacara tua termenung.
"Apa jawabanku salah?"
Orang tua itu menggeleng.

"Seperti yang kamu katakan tadi, salah atau benar juga tidak menjadi persoalan. Hanya ada kemungkinan kalau kamu membelanya, kamu akan berhasil keluar sebagai pemenang."

"Jangan meremehkan jaksa-jaksa yang diangkat oleh negara. Aku dengar sebuah tim yang sangat tangguh akan diturunkan."

"Tapi kamu akan menang."
"Perkaranya saja belum mulai, bagaimana bisa tahu aku akan menang."

"Sudah bertahun-tahun aku hidup sebagai pengacara. Keputusan sudah bisa dibaca walaupun sidang belum mulai. Bukan karena materi perkara itu, tetapi karena soal-soal sampingan. Kamu terlalu besar untuk kalah saat ini."

Pengacara muda itu tertawa kecil.
"Itu pujian atau peringatan?"
"Pujian."
"Asal Anda jujur saja."
"Aku jujur."
"Betul?"
"Betul!"

Pengacara muda itu tersenyum dan manggut-manggut. Yang tua memicingkan matanya dan mulai menembak lagi.
"Tapi kamu menerima membela penjahat itu, bukan karena takut, bukan?"

"Bukan! Kenapa mesti takut?!"
"Mereka tidak mengancam kamu?"
"Mengacam bagaimana?"
"Jumlah uang yang terlalu besar, pada akhirnya juga adalah sebuah ancaman. Dia tidak memberikan angka-angka?"

"Tidak."
Pengacara tua itu terkejut.
"Sama sekali tak dibicarakan berapa mereka akan membayarmu?"
"Tidak."
"Wah! Itu tidak profesional!"
Pengacara muda itu tertawa.
"Aku tak pernah mencari uang dari kesusahan orang!"
"Tapi bagaimana kalau dia sampai menang?"
Pengacara muda itu terdiam.
"Bagaimana kalau dia sampai menang?"
"Negara akan mendapat pelajaran penting. Jangan main-main dengan kejahatan!"
"Jadi kamu akan memenangkan perkara itu?"
Pengacara muda itu tak menjawab.
"Berarti ya!"
"Ya. Aku akan memenangkannya dan aku akan menang!"

Orang tua itu terkejut. Ia merebahkan tubuhnya bersandar. Kedua tangannya mengurut dada. Ketika yang muda hendak bicara lagi, ia mengangkat tangannya.

"Tak usah kamu ulangi lagi, bahwa kamu melakukan itu bukan karena takut, bukan karena kamu disogok."
"Betul. Ia minta tolong, tanpa ancaman dan tanpa sogokan. Aku tidak takut."

"Dan kamu menerima tanpa harapan akan mendapatkan balas jasa atau perlindungan balik kelak kalau kamu perlukan, juga bukan karena kamu ingin memburu publikasi dan bintang-bintang penghargaan dari organisasi kemanusiaan di mancanegara yang benci negaramu, bukan?"

"Betul."
"Kalau begitu, pulanglah anak muda. Tak perlu kamu bimbang.

Keputusanmu sudah tepat. Menegakkan hukum selalu dirongrong oleh berbagai tuduhan, seakan-akan kamu sudah memiliki pamrih di luar dari pengejaran keadilan dan kebenaran. Tetapi semua rongrongan itu hanya akan menambah pujian untukmu kelak, kalau kamu mampu terus mendengarkan suara hati nuranimu sebagai penegak hukum yang profesional."

Pengacara muda itu ingin menjawab, tetapi pengacara tua tidak memberikan kesempatan.
"Aku kira tak ada yang perlu dibahas lagi. Sudah jelas. Lebih baik kamu pulang sekarang. Biarkan aku bertemu dengan putraku, sebab aku sudah sangat rindu kepada dia."

Pengacara muda itu jadi amat terharu. Ia berdiri hendak memeluk ayahnya. Tetapi orang tua itu mengangkat tangan dan memperingatkan dengan suara yang serak. Nampaknya sudah lelah dan kesakitan.

"Pulanglah sekarang. Laksanakan tugasmu sebagai seorang profesional."
"Tapi..."

Pengacara tua itu menutupkan matanya, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. Sekretarisnya yang jelita, kemudian menyelimuti tubuhnya. Setelah itu wanita itu menoleh kepada pengacara muda.
"Maaf, saya kira pertemuan harus diakhiri di sini, Pak. Beliau perlu banyak beristirahat. Selamat malam."

Entah karena luluh oleh senyum di bibir wanita yang memiliki mata yang sangat indah itu, pengacara muda itu tak mampu lagi menolak. Ia memandang sekali lagi orang tua itu dengan segala hormat dan cintanya. Lalu ia mendekatkan mulutnya ke telinga wanita itu, agar suaranya jangan sampai membangunkan orang tua itu dan berbisik.

"Katakan kepada ayahanda, bahwa bukti-bukti yang sempat dikumpulkan oleh negara terlalu sedikit dan lemah. Peradilan ini terlalu tergesa-gesa. Aku akan memenangkan perkara ini dan itu berarti akan membebaskan bajingan yang ditakuti dan dikutuk oleh seluruh rakyat di negeri ini untuk terbang lepas kembali seperti burung di udara. Dan semoga itu akan membuat negeri kita ini menjadi lebih dewasa secepatnya. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang lalai."

Apa yang dibisikkan pengacara muda itu kemudian menjadi kenyataan. Dengan gemilang dan mudah ia mempecundangi negara di pengadilan dan memerdekaan kembali raja penjahat itu. Bangsat itu tertawa terkekeh-kekeh. Ia merayakan kemenangannya dengan pesta kembang api semalam suntuk, lalu meloncat ke mancanegara, tak mungkin dijamah lagi. Rakyat pun marah. Mereka terbakar dan mengalir bagai lava panas ke jalanan, menyerbu dengan yel-yel dan poster-poster raksasa. Gedung pengadilan diserbu dan dibakar. Hakimnya diburu-buru. Pengacara muda itu diculik, disiksa dan akhirnya baru dikembalikan sesudah jadi mayat. Tetapi itu pun belum cukup. Rakyat terus mengaum dan hendak menggulingkan pemerintahan yang sah.

Pengacara tua itu terpagut di kursi rodanya. Sementara sekretaris jelitanya membacakan berita-berita keganasan yang merebak di seluruh wilayah negara dengan suaranya yang empuk, air mata menetes di pipi pengacara besar itu.

"Setelah kau datang sebagai seorang pengacara muda yang gemilang dan meminta aku berbicara sebagai profesional, anakku," rintihnya dengan amat sedih, "Aku terus membuka pintu dan mengharapkan kau datang lagi kepadaku sebagai seorang putra. Bukankah sudah aku ingatkan, aku rindu kepada putraku. Lupakah kamu bahwa kamu bukan saja seorang profesional, tetapi juga seorang putra dari ayahmu. Tak inginkah kau mendengar apa kata seorang ayah kepada putranya, kalau berhadapan dengan sebuah perkara, di mana seorang penjahat besar yang terbebaskan akan menyulut peradilan rakyat seperti bencana yang melanda negeri kita sekarang ini?" ***

Cirendeu 1-3-03

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Padamu Jua

Habis kikis
Segera cintaku hilang terbang
Pulang kembali aku padamu
Seperti dahulu

Kaulah kandil kemerlap
Pelita jendela di malam gelap
Melambai pulang perlahan
Sabar, setia selalu

Satu kekasihku
Aku manusia
Rindu rasa
Rindu rupa

Di mana engkau
Rupa tiada
Suara sayup
Hanya kata merangkai hati

Engkau cemburu
Engkau ganas
Mangsa aku dalam cakarmu
Bertukar tangkap dengan lepas
Nanar aku, gila sasar
Sayang berulang padamu jua
Engkau pelik menarik ingin
Serupa dara dibalik tirai
Kasihmu sunyi

Menunggu seorang diri
Lalu waktu - bukan giliranku
Matahari - bukan kawanku.

Amir Hamzah

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

AKU

Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Chairil anwar Maret 1943

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS