Psikologi sastra

Psikologi sastra adalah ilmu sastra yang mendekati karya sastra dari sudut psikologi (Hartoko melalui Endraswara, 2008:70). Dasar konsep dari psikologi sastra adalah munculnya jalan buntu dalam memahami sebuah karya sastra, sedangkan pemahaman dari sisi lain dianggap belum bisa mewadahi tuntutan psikis, oleh karena hal itu muncullah psikologi sastra, yang berfungsi sebagai jembatan dalam interpretasi.
Penelitian psikologi sastra memfokuskan pada aspek-aspek kejiwaan. Artinya, dengan memusatkan perhatian pada tokoh-tokoh penelitian dapat mengungkap gejala-gejala psikologis tokoh baik yang tersembunyi atau sengaja disembunyikan pengarang (Ratna, 2004:350).


Teori Psikoanalisis dari Sigmund Freud
Sigmund Freud dianggap sebagai pencetus psikologi sastra, ia menciptakan teori psikoanalisis yang membuka wacana penelitian psikologi sastra. Pendekatan psikoanalisis sangat substil dalam hal menemukan berbagai hubungan antar penanda tekstual (Endraswara, 2008: 199).
Psikoanalisis yang diciptakan Freud terbagi atas beberapa bagian, yaitu :
a. Struktur Kepribadian
Menurut Freud kepribadian memiliki tiga unsur penting, yaitu id (aspek biologis), ego (aspek psikologis), dan superego (aspek sosiologis).
1. Id (das Es)
Id merupakan sistem kepribadian yang paling primitif/dasar yang sudah beroperasi sebelum bayi berhubungan dengan dunia luar. Id adalah sistem kepribadian yang di dalamnya terdapat faktor – faktor bawaan (Freud, dalam Koswara, 1991:32). Faktor bawaan ini adalah insting atau naluri yang dibawa sejak lahir. Naluri yang terdapat dalam diri manuasia dibedakan menjadi dua, yaitu naluri kehidupan (life instincts) dan naluri kematian (death insticts).
“Yang dimaksud naluri kehidupan oleh Freud adalah naluri yang ditujukan pada pemeliharaan ego (the conservation of the individual) dan pemeliharaan kelangsungan jenis (the conservation of the species). Dengan kata lain, naluri kehidupan adalah naluri yang ditujukan kepada pemeliharaan manusia sebagai individu maupun spesies. Sedangkan naluri kematian adalah naluri yang ditujukan kepada penghancuran atau pengrusakan yang telah ada ”(Koswara, 1991:38-39)

Freud berpendapat ( melalui Suryabrata, 1993) bahwa naluri memiliki empat sifat , yakni :
a. Sumber insting, yang menjadi sumber insting adalah kondisi jasmaniah atau kebutuhan.
b. Tujuan insting adalah untuk menghilangkan ketidakenakan yang timbul karena adanya tegangan yang disebabkan oleh meningkatnya energi yang tidak dapat diredakan.
c. Objek insting adalah benda atau hal yang bisa memuaskan kebutuhan.
d. Pendorong insting adalah kekuatan insting itu, yang bergantung pada besar kecilnya kebutuhan.

2. Ego (das Ich)
Ego adalah aspek psikologis dari kepribadian yang timbul karena kebutuhan pribadi untuk berhubungan dengan dunia nyata (Freud, melalui Suryabrata,1993:147). Seperti orang yang lapar harus berusaha mencari makanan untuk menghilangkan tegangan (rasa lapar) dalam dirinya. Hal ini berarti seseorang harus dapat membedakan antara khayalan tentang makanan dan kenyataannya. Hal inilah yang membedakan antara id dan ego. Dikatakan aspek psikologis karena dalam memainkan peranannya ini, ego melibatkan fungsi psikologis yang tinggi, yaitu fungsi konektif atau intelektual (Freud, dalam Koswara, 1991:33-34).
Ego selain sebagai pengarah juga berfungsi sebagai penyeimbang antara dorongan naluri Id dengan keadaan lingkungan yang ada.
“......, menurut Freud, ego dalam perjalanan fungsinya tidak ditujukan untuk menghambat pemuas kebutuhan atau naluri yang berasal dari id, melainkan bertindak sebagai perantara dari tuntunan–tuntunan naluriah organisme di satu pihak dengan keadaan lingkungan di pihak lain. Yang dihambat oleh ego adalah pengungkapan naluri–naluri yang tidak layak atau yang tidak bisa diterima oleh lingkungan”(dalam Koswara,1991:34).

3. Superego ( das über Ich)
Menurut Freud, superego adalah aspek sosiologis dari kepribadian dan merupakan wakil dari nilai–nilai tradisional atau cita–cita masyarakat sebagaimana yang ditafsirkan orangtua kepada anak–anaknya, yang dimaksud dengan berbagai perintah dan larangan (melalui Suryabrata, 1993:148). Jadi, bisa dikatankan superego terbentuk karena adanya fitur yang paling berpengaruh seperti orang tua. Dengan terbentuknya superego pada individu, maka kontrol terhadap sikap yang dilakukan orang tua, dalam perkembangan selanjutnya dilakukan oleh individu sendiri. Superego pada diri individu bisa dikatakan terdiri dari dua subsistem.
“Apapun yang mereka katakan salah dan menghukum anak karena melakukannya akan cenderung menjadi suara hatinya (conscience), (...) apa pun juga yang mereka setujui dan menghadiahi anak akan cenderung menjadi ego-ideal anak”(Freud dalam Hall dan Linzey, 1993:67).

Freud berpendapat bahwa fungsi pokok dari superego dapat dilihat dari hubungannya aspek kepribadian yang lain, yaitu :
“1. Merintangi implus–implus id, terutama implus seksual dan agresif yang pernyataannya sangat ditentang oleh masyarakat
2. Mendorong superego untuk lebih mengejar hal–hal yang bersifat moralistis daripada yang realistis
3. Mengejar kesempurnaan (Suryabrata, 1993:145).

Mengakhiri uraian instansi kepribadian di atas bisa dipahami bahwa kepribadian adalah bentukan dari tiga instansi yang berbeda fungsi dan operasinya tetapi saling mempengaruhi sehingga membentuk satu totalitas dan tidak bisa dipisahkan.
b. Dinamika Kepribadian
Freud mengemukakan bahwa manusia mempunyai daya pendorong untuk melakukan berbagai hal dengan menggunakan energi. Energi ada dua yaitu energi fisik dan energi psikis. Energi fisik adalah energi yang dipakai untuk kekuatan fisik, sedangkan energi psikis adalah energi yang digunakan untuk kekuatan psikologis.
Dalam konsep Freud, naluri adalah reprensentasi psikologis bawaan dari eksitasi (keadaan tegang dan terangsang) pada tubuh yang diakibatkan oleh munculnya suatu kebutuhan tubuh (dalam Koswara, 1991:36).
Dalam dinamika kepribadian, Freud menjelaskan tentang adanya tenaga pendorong (cathexis) dan tenaga penekanan (anti–cathexis). Kateksis adalah pemakaian energi psikis yang dilakukan oleh id untuk suatu objek tertentu untuk memuaskan suatu naluri, sedangkan anti-kataeksis adalah penggunaan energi psikis (yang berasal dari id) untuk menekan atau mencegah agar id tidak memunculkan naluri–naluri yang tidak bijaksana dan destruktif. Id hanya memiliki kateksis, sedangkan ego dan superego memiliki anti-kateksis, namun ego dan superego juga bisa membentuk kateksis-objek yang baru sebagai pengalihan pemuasan kebutuhan secara tidak langsung, masih berkaitan dengan asosiasi–asosiasi objek pemuasan kebutuhan yang diinginkan oleh id. Pengerahan dan pengalihan energi psikis dari satu objek ke objek lain ini merupakan gambaran dari dinamika kepribadian dalam teori Freud (bandingkan Koswara, 1991:37).
Lingkungan tempat orang hidup kadang kala bisa mengancam dan membahayakan. Dalam menghadapi ancaman biasanya orang merasa takut, karena kewalahan menghadapi stimulasi berlebihan yang tidak berhasil dikendalikan oleh ego, maka ego diliputi kecemasan. Kecemasan adalah suatu konsep terpenting dalam psikoanalisa dan juga memainkan peranan yang penting, baik dalam perkembangan kepribadian mau pun dinamika kepribadian (bandingkan Koswara, 1991:39). Freud membedakan kecemasan menjadi tiga, yaitu kecemasan realitas, kecemasan neurotik, dan kecemasan moral atau perasaan bersalah (Hall & Lindzey, 1993:81). Fungsi kecemasan adalah memperingatkan individu tentang adanya bahaya. Ketika timbul kecemasan, maka ia akan memotivasi individu untuk melakukan sesuatu.
c. Perkembangan Kepribadian
Kepribadian selalu berubah dan berkembang, perkembangan kepribadian adalah suatu proses untuk mengatasi ketegangan jiwa. Dan perkembangan kepribadian memilki empat sumber ketegangan pokok, yaitu : proses pertumbuhan fisiologis, frustasi, konflik, dan ancaman (Hall & Lindzey, 2000:82).
Menurt Freud cara–cara untuk menghilangkan ketegangan, antara lain :
1. Identifikasi, yaitu mengambil alih atau menyatukan sifat – sifat suatu objek luar, biasanya yang dimiliki orang lain, ke dalam kepribadian seseorang. Seseorang yeng berhasil menyatukan dirinya dengan orang lain akan menyamai orang itu. Kecenderungan meniru atau mencontoh orang lain merupakan suatu contoh yang penting dalam membentuk kepribadian (Hall, 1959:101).
2. Pemindahan Objek
Apabila objek asli yang dipilih insting tidak dapat dicapai karena adanya rintangan (anti kateksis), maka suatu kateksis (chatexis) baru akan terbentuk. Bila kateksis baru ini juga tidak dapat digunakan, kateksis lain akan terbentuk lagi dan begitu seterusnya sampai ada objek baru yang dapat mereduksikan tegangan. Selama proses pemindahan ini, sumber dan tujuan insting tidak berubah, hanya objeknya saja yang berubah (Suryabrata, 2003: 143).


3. Mekanisme Pertahanan
Cara yang digunakan individu dalam mencegah kemunculan terbuka dari dorongan–dorongan id maupun untuk menghadapi tekanan superego atas ego, dengan tujuan agar kecemasan dari ketegangan bisa dikurangi atau diredakan (bandingkan Koswara, 1991:460).
Beberapa mekanisme pertahanan ego menurut Sigmund Freud (Hall & Lindzey, 2000:87-89):
a. Represi, yaitu menekan dorongan atau keinginan penyebab kecemasan ke dalam alam tak sadar. Keinginan yang direpresi bisa muncul ke luar melalui mimpi atau salah ucap dalam bentuknya yang disimbolisasi.
b. Proyeksi, yaitu pengalihan dorongan, tingkah laku, atau sikap yang menimbulkan kecemasan kepada orang lain. Prasangka sosial atau pengkambinghitaman individu atau kelompok lain (biasanya minoritas) juga termasuk dalam bentuk proyeksi.
c. Reaksi formasi, yaitu mengganti perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan perasaan yang berlawanan dalam alam sadar, seperti perasaan benci jadi cinta.
d. Sublimasi, yaitu mengubah dan menyesuaikan dorongan primitiv id yang menjadi penyebab kecemasan ke dalam bentuk tingkah laku yang bisa diterima, bahkan dihargai masyarakat.
e. Displacement, yaitu pengungkapan dorongan yang menimbulkan kecemasan kepada objek atau individu yang kurang berbahaya atau kurang mengancam dibanding dengan objek atau individu semula.
f. Rasionalisasi, yaitu upaya individu memutarbalikkan kenyataan, dalam hal ini kenyataan yang mengancam ego, melalui alasan tertentu yang seakan–akan masuk akal sehingga kenyataan tersebut tidak lagi mengancam ego individu tersebut.
4. Tahap Perkembangan
Tahap perkembangan menurut Freud terbagi menjadi tiga tahap, yaitu :
a. Tahap Infantil
Freud berpendapat bahwa tahap infantil merupakan tahap yang sangat penting bagi pembentukan kepribadian. Ia berasumsi bahwa bayi-bayi memiliki kehidupan seksual dan mengalami periode perkembangan seksual pragenital pada usia empat atau lima tahun pertama sesudah kelahiran. Seksualitas pada anak-anak berbeda dengan seksualitas pada masa dewasa. Seksualitas yang dialami anak-anak tidak memiliki kemampuan reproduksi, hanya sekadar autoerotik saja (Semiun, 2006: 102).
Tahap infantil dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
1) Tahap oral
Tahap ini adalah tahap pertama perkembangan kepribadian anak karena menurut Freud, mulut adalah organ pertama yang memberikan kenikmatan pada bayi.
Pada tahap ini ditandai dengan perilaku menghisap dan menggigit karena daerah kenikmatan terdapat pada mulut. Tahap ini berlangsung saat bayi masih tergantung pada ibunya, perasaan tergantung ini akan terus berada pada diri seseorang dalam hidupnya (bandingkan Hall & Lindzey, 2000:91).
(...)perasaan tergantung ini cenderung menetap dalam hidup, selepas dari perkembangan ego lebih lanjut dan siap muncul ke permukaan manakala orang merasa cemas dan tidak aman (dalam Hall & Lindzey, 2000:91).

2) Tahap anal
Ciri periode ini adalah kepuasan yang diperoleh bayi melalui tingkah laku agresif dan eliminasi (Freud melalui Semiun, 2006: 103).
Tahap anal terbagi menjadi dua bagian, yaitu periode anal awal dan periode anal akhir. Pada periode anal awal, anak memperoleh kepuasan dengan menghilangkan benda-benda. Pada periode ini anak lebih besifat destruktif dan agresif karena anak dibuat frustasi dengan toilet training. Pada periode anal akhir, anak kadang mencurahkan perhatian pada fesesnya, yaitu perhatian yang disebabkan oleh kenikmatan defekasi. Kadang ia akan menyajikan fesesnya kepada orangtua sebagai hadiah yang berharga (Freud melalui Semiun, 2006: 104).
3) Tahap phalik
Tahap ini dialami pada tahun keempat atau kelima, yaitu suatu tahap ketika energi libido sasarannya dialihkan dari daerah dubur ke daerah alat kelamin . Dalam tahap ini, daerah genital menjadi daerah erogen yang utama. Anak sering bermain dengan alat kelaminnya, bahkan sampai mengalami masturbasi. Namun yang memainkan peran penting dalam perkembangan kepribadian anak pada tahap ini adalah pengalaman anak dengan Oedipus kompleks.
b. Tahap laten
Freud berpendapat bahwa dari tahun ke-4 atau ke-5 sampai pubertas, anak laki-laki dan perempuan mengalami suatu periode saat perkembangan psikoseksual terhenti (Semiun, 2006: 111). Pada tahap ini anak masih memiliki insting seksual, tetapi tujuannya telah dicegah. Hal ini diperkuat dengan perasaan malu, rasa bersalah, dan moralitas dalam diri anak sendiri (Semiun, 2006: 112).
c. Tahap genital
Masa puber membangkitkan kembali tujuan seksual pada pubertas kehidupan seksual. Anak memasuki kehidupan kedua yang berbeda dari tahap infantil (Freud melalui Semiun, 2006: 112).
Pada tahap ini ditandai dengan mulai adanya ketertarikan dengan lawan jenis dan mulai membentuk dorongan seksual secara nyata (Hall & Lindzey, 2000:95).
sumber http://sobatbaru.blogspot.com/2010/06/psikologi-sastra.html

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SOSIOLOGI SASTRA

1. Pengantar
Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitian-penelitian sosiologi sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra adalah ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut (Soemanto, 1993; Levin, 1973:56). Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratan-persyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1981:178).
Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1977:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra.
2. Sejarah Pertumbuhan
Konsep sosiologi sastra didasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empirik masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya (Soemanto, 1993). Konsep dasar sosiologi sastra sebenarnya sudah dikembangkan oleh Plato dan Aristoteles yang mengajukan istilah 'mimesis', yang menyinggung hubungan antara sastra dan masyarakat sebagai 'cermin'.
Pengertian mimesis (Yunani: perwujudan atau peniruan) pertama kali dipergunakan dalam teori-teori tentang seni seperti dikemukakan Plato (428-348) dan Aristoteles (384-322), dan dari abad ke abad sangat memengaruhi teori-teori mengenai seni dan sastra di Eropa (Van Luxemburg, 1986:15).
Menurut Plato, setiap benda yang berwujud mencerminkan suatu ide asti (semacam gambar induk). Jika seorang tukang membuat sebuah kursi, maka ia hanya menjiplak kursi yang terdapat dalam dunia Ide-ide. Jiplakan atau copy itu selalu tidak memadai seperti aslinya; kenyataan yang kita amati dengan pancaindra selalu kalah dari dunia Ide. Seni pada umumnya hanya menyajikan suatu ilusi (khayalan) tentang 'kenyataan' (yang juga hanya tiruan dari 'Kenyataan Yang Sebenarnya') sehingga tetap jauh dari 'kebenaran'. Oleh karena itu lebih berhargalah seorang tukang daripada seniman karena seniman menjiplak jiplakan, membuat copy dari copy.
Aristoteles juga mengambil teori mimesis Plato yakni seni menggambarkan kenyataan, tetapi dia berpendapat bahwa mimesis tidak semata-mata menjiplak kenyataan melainkan juga menciptakan sesuatu yang haru karena 'kenyataan' itu tergantung pula pada sikap kreatif orang dalam memandang kenyataan. Jadi sastra bukan lagi copy (jiblakan) atas copy (kenyataan) melainkan sebagai suatu ungkapan atau perwujudan mengenai "universalia" (konsep-konsep umum). Dari kenyataan yang wujudnya kacau, penyair memilih beberapa unsur lalu menyusun suatu gambaran yang dapat kita pahami, karena menampilkan kodrat manusia dan kebenaran universal yang berlaku pada segala jaman.
Levin (1973:56-60) mengungkapkan bahwa konsep 'mimesis' itu mulai dihidupkan kembali pada zaman humanisme Renaissance dan nasionalisme Romantik. Humanisme Renaissance sudah berupaya mengbilangkan perdehatan prinsipial antara sastra modern dan sastra kuno dengan menggariskan paham bahwa masing-masing kesusastraan itu merupakan ciptaan unik yang memiliki pembayangan historis dalam jamannya. Dasar pembayangan historis ini telah dikembangkan pula dalam zaman nasionalisme Romantik, yang secara khusus meneliti dan menghidupkan kembali tradisi-tradisi asli berbagai negara dengan suatu perbandingan geografis. Kedua pandangan tersebut kemudian diwariskan kepada zaman berikutnya, yakni positivisme ilmiah.
Pada zaman positivisme ilmiah, muncul tokoh sosiologi sastra terpenting: Hippolyte Taine (1766-1817). Dia adalah seorang sejarawan kritikus naturalis Perancis, yang sering dipandang sebagai peletak dasar bagi sosiologi sastra modern. Taine ingin merumuskan sebuah pendekatan sosiologi sastra yang sepenuhnya ilmiah dengan menggunakan metode-metode seperti yang digunakan dalam ilmu alam dan pasti. Dalam bukunya History of English Literature (1863) dia menyebutkan bahwa sebuah karya sastra dapat dijelaskan menurut tiga faktor, yakni ras, saat (momen), dan lingkungan (milieu). Bila kita mengetahui fakta tentang ras, lingkungan dan momen, maka kita dapat memahami iklim rohani suatu kebudayaan yang melahirkan seorang pengarang beserta karyanya. Menurut dia faktor-faktor inilah yang menghasilkan struktur mental (pengarang) yang selanjutnya diwujudkan dalam sastra dan seni. Adapun ras itu apa yang diwarisi manusia dalam jiwa dan raganya. Saat (momen) ialah situasi sosial-politik pada suatu periode tertentu. Lingkungan meliputi keadaan alam, iklim, dan sosial. Konsep Taine mengenai milieu inilah yang kemudian menjadi mata rantai yang menghubungkan kritik sastra dengan ilmu-ilmu sosial.
Pandangan Taine, terutama yang dituangkannya dalam buku Sejarah Kesusastraan Inggris, oleh pembaca kontemporer asal Swiss, Amiel, dianggap membuka cakrawala pemahaman baru yang berbeda dan cakrawala anatomis kaku (strukruralisme) yang berkembang waktu itu. Bagi Amiel, buku Taine ini membawa aroma baru yang segar bagi model kesusastraan Amerika di masa depan. Sambutan yang hangat terutama datang dari Flaubert (1864). Dia mencatat, bahwa Taine secara khusus telah menyerang anggapan yang berlaku pada masa itu bahwa karya sastra seolah-olah merupakan meteor yang jatuh dari langit. Menurut Flaubert, sekalipun segi-segi sosial tidak diperlukan dalam pencerapan estetik, sukar bagi kita untuk mengingkari keberadaannya. Faktor lingkungan historis ini sering kali mendapat kritik dari golongan yang percaya pada 'misteri' (ilham). Menurut Taine, hal-hal yang dianggap misteri itu sebenarnya dapat dijelaskan dari lingkungan sosial asal misteri itu. Sekalipun penjelasan Taine ini memiliki kelemahan-kelemahan tertentu, khususnya dalam penjelasannya yang sangat positivistik, namun telah menjadi pemicu perkembangan pemikiran intelektual di kemudian hari dalam merumuskan disiplin sosiologi sastra.
3. Teori Sastra Marxis
Pendekatan sosiologi sastra yang paling terkemuka dalam ilmu sastra adalah Marxisme. Kritikus-kritikus Marxis biasanya mendasarkan teorinya pada doktrin Manifesto Komunis (1848) yang diberikan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, khusunya terhadap pernyataan bahwa perkembangan evolusi historis manusia dan institusi-institusinya ditentukan oleh perubahan mendasar dalam produksi ekonomi. Peruhanan itu mengakibatkan perombakan dalam struktur kelas-kelas ekonomi, yang dalam setiap jaman selalu bersaing demi kedudukan sosial ekonomi dan status politik. Kehidupan agama, intelektual, dan kebudayaan setiap jaman -termasuk seni dan kesusastraan - merupakan 'ideologi-ideologi' dan 'suprastruktur-suprastruktur' yang berkaitan secara dialektikal, dan dibentuk atau merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas dalam jamannya (Abrams, 1981:178).
Sejarah dipandang sebagai suatu perkembangan yang terus-menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif selalu tumbuh untuk menuju kepada suatu masyarakat yang ideal tanpa kelas. Evolusi ini tidakberjalan dengan mulus melainkan penuh hambatan-hambatan. Hubungan ekonomi menimbulkan berbagai kelas sosial yang saling bermusuhan. Pertentangan kelas yang terjadi pada akhirnya dimenangkan oleh suatu kelas tertentu. Hubungan produksi yang baru perlu melawan kelas yang berkuasa agar tercapailah suatu tahap masyarakat ideal tanpa kelas, yang dikuasai oleh kaum proletar.
Bagi Marx, sastra dan semua gejala kebudayaan lainnya mencerminkan pola hubungan ekonomi karena sastra terikat akan kelas-kelas yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, karya sastra hanya dapat dimengerti jika dikaitkan dengan hubungan-hubungan tersebut (Van Luxemburg, 1986:24-25). Menurut Lenin, seorang tokoh yang dipandang sebagai peletak dasar bagi kritik sastra Marxis, sastra (dan seni pada umumnya) merupakan suatu sarana penting dan strategis dalam perjuangan proletariat melawan kapitalisme.
4. George Lukacs: Sastra Sebagai Cermin
George Lukacs adalah seorang kritikus Marxis terkemuka yang berasal dari Hungaria dan menulis dalam bahasa Jerman (Damono, 1979:31). Lukacs mempergunakan istilah "cermin" sebagai ciri khas dalam keseluruhan karyanya. Mencerminkan menurut dia, berarti menyusun sebuah struktur mental. Sebuah novel tidak hanya mencerminkan 'realitas' tetapi lebih dari itu memberikan kepada kita "sebuah refleksi realitas yang lebih besar, lebih lengkap, lebih hidup, dan lebih dinamik" yang mungkin melampaui pemahaman umum. Sebuah karya sastra tidak hanya mencerminkan fenomena idividual secara tertutup melainkan lebih merupakan sebuah 'proses yang hidup'. Sastra tidak mencerminkan realitas sebagai semacam fotografi, melainkan lebih sebagai suatu bentuk khusus yang mencerminkan realitas. Dengan demikian, sastra dapat mencerminkan realitas secara jujur dan objektif dan dapat juga mencerminkan kesan realitas subjektif (Selden, 1991:27).
Lukacs menegaskan pandangan tentang karya realisme yang sungguh-sungguh sebagai karya yang memberikan perasaan artistik yang bersumber dari imajinasi-imajinasi yang diberikannya. Imajinasi-imajinasi itu memiliki totalitas intensif yang sesuai dengan totalitas ekstensif dunia. Penulis tidak memberikan gambaran dunia abstrak melainkan kekayaan imajinasi dan kompleksitas kehidupan untuk dihayati untuk membentuk sebuah tatanan masyarakat yang ideal. Jadi sasarannya adalah pemecahan kontradiksi melalui dialektika sejarah.
5. Bertold Brecht: Efek Alienasi
Bertold Brecht adalah seorang dramawan Jerman yang terhakar jiwanya ketika membaca buku Marx sekitar tahun 1926. Drama-dramanya bersifat radikal, anarkistik, dan anti borjuis. Sebagai seorang yang anti terhadap paham-paham realisme sosialis, ia terkenal sebagai penentang aliran Aristoteles. Aristoteles menekankan universalitas dan kesatuan aksi tragik dan identifikasi penonton terhadap pahlawan-pahlawan positif untuk menghasilkan 'katarsis' (pelepasan hehan) perasaan.
Menurut Brecht, dramawan bendaknya menghindari alur yang dihuhungkan secara lancar dengan makna dan nilai-nilai universal yang pasti. Fakta-fakta ketidakadilan dan ketidakwajaran perlu dihadirkan untuk mengejutkan dan mengagetkan penonton. Penonton jangan ditidurkan dengan ilusi-ilusi palsu. Para pelaku tidak harus menghilangkan personalitas dirinya untuk mendorong identifikasi penonton atas tokoh-tokoh pahlawannya. Mereka harus mampu menimbulkan efek alienasi (keterasingan). Pemain bukan berfungsi menunjukkan melainkan mengungkapkan secara spontan individualitasnya (Selden, 1991:30-32).
6. Aliran Frankfurt
Aliran Frankfurut adalah sebuah aliran filsafat sosial yang dirintis oleh Horkheimer dan Th. W. Adorno yang berusaha menggabungkan teori ekonomi sosial Marx dengan psikoanalisis Freud dalam mengkritik teori sosial kapitalis (Hartoko, 1986:29-30). Dalam bidang sastra, estetika Marxis Aliran Frankfurt mengembangkan apa yang disebut "Teori Kritik" (dimulai tahun 1933). Teori Kritik merupakan sebuah bentuk analisis kemasyarakatan yang juga meliputi unsur-unsur aliran Marx dan aliran Freud. Tokoh-tokoh utama dalam filsafat dan estetika adalah: Max Horkheimer, Theodor Adorno, Berhert Marcuse dan J. Habermas (Selden, 1993:32-37).
Seni dan kesusastraan mendapat perhatian istimewa dalam teori sosiologi Frankfurt, karena inilah satu-satunya wilayah di mana dominasi totaliter dapat ditentang. Adorno mengkritik pandangan Lukacs bahwa sastra berbeda dari pemikiran, tidak mempunyai hubungan yang langsung dengan realitas. Keterpisahan itu, menurut Adorno, justru memberi kekuatan kepada seni untuk mengkritik dan menegasi realitas, seperti yang ditunjukkan oleh seni-seni Avant Garde. Seni-seni populer sudah bersekongkol dengan sistem ekonomi yang membentuknya, sehingga tidak mampu mengambil jarak dengan realitas yang sudah dimanipulasi oleh sistem sosial yang ada. Mereka memandang sistem sosial sebagai sebuah totalitas yang di dalamnya semua aspek mencerminkan esensi yang sama (masyarakat satu dimensi).
Adorno menolak teori-teori tradisional tentang kesatuan dan pentingnya individualitas (paham ekspresionisme) atau mengenai bahasa yang penuh arti (strukturalisme) karena hanya membenarkan sistem sosial yang ada. Menurutnya, drama menghadirkan pelaku-pelaku tanpa individualitas dan klise-klise bahasa yang terpecah-pecah, diskontinuitas wacana yang absurd, penokohan yang memhosankan, dan ketiadaan alur. Semuanya itu menimbulkan efek estetik yang menjauhkan realitas yang dihadirkan dalam drama itu, dan inilah sebuah pengetahuan tentang eksistensi dunia modern sekaligus pemberontakan terhadap tipe masyarakat satu dimensi.
7. Teori-Teori Neomarxisme
Kaum Neomarxis merupakan pemikir sastra yang meneliti ajaran Marx (khusus pada masa mudanya), dan dengan bantuan sosiologi, ingin menjadikannya relevan dengan masyarakat modern. Mereka tidak mendasarkan argumennya pada Marx, Lenin, dan Engels sebagai dogma politik, ataupun menerima supremasi Partai Komunis terhadap budaya dan ilmu. Kaum Neomarxis hanya mengambil ajaran Marx sebagai sumber inspirasi, khususnya dalam hal studi kritik sastra Marxis (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:115). Aliran Frankfurt, oleh beberapa pengamat dipandang sebagai salah satu bentuk teori Neomarxis. Tokoh-tokoh pentingnya antara lain Fredric Jameson, Walter Benjamin, Lucien Goldman, dan Th. Adorno.
Neomarxisme lebih bersifat epistemologis daripada politis. Mereka menganut paham "metode dialektik". Sekalipun lingkup diskusi mereka sangat luas, lagi pula pandangan mereka tidak secara khusus diterapkan pada Teori Sastra saja, Th. Adorno meagemukakan bahwa ada empat gagasan pokok dalam pembicaraan aliran ini (Fokkema & Kunne-Ibsch, 1977:134-135).
1) Metode dialektika dapat memberikan suatu pemahaman mengenai totalitas masyarakat'. Penggunaan metode ini mencegah kekerdilan pandangan terhadap seni hanya sebagai fakta atau masalah. Metode ini merupakan suatu bagian kajian ilmiah yang mampu mempelajari konteks sosial suatu fakta estetik. Di samping mendalami objek (seni) tertentu, mereka juga harus menguji objek itu yang ditempatkan sebagai subjek dalam masyarakat. Studi mereka dapat terfokus pada konteks historis, dengan melakukan observasi terhadap fenomena-fenomena serta harapan tertentu mengenai implikasinya di masa depan. Objek kajian metode dialektika tidak terbatas, karena masyarakat yang satu merupakan totalitas dalam dialektika kata.
2) Metode dialektik berorientasi pada hubungan antara konkretisasi sejarah umum dan sejarah individual. Konteks kajiannya bukan hanya sekedar masa lampau tetapi juga masa depan. Masa depan memang terbuka untuk berbagai kemungkinan, namun dia ditentukan oleh intensi-intensi yang telah ditetapkan manusia, masyarakat, sejarah. Setiap bidang (ilmu, politik, sejarah) selalu mengandung aspek teleologis (tujuan, sasaran) berkenaan dengan masa depan yang masih jauh.
3) Aspek teleologikal itu tergantung kepada perbedaan antara hukum kebenaran yang tampak dan kebenaran esensial. Hanya fenomena-fenomena yang tampak secara nyatalah yang dapat dikaji secara empiris, tetapi tetap harus dipandang dalam kerangka kebenaran esensial. Jadi aspek teleologis memiliki identitas ganda terhadap suatu subjek: dapat mencapai kesadaran yang benar (yang lebih tinggi), tetapi dapat pula mencapai kesadaran yang salah (yang lebih rendah) tergantung pada konteks yang berbeda-beda.
4) Perlu diperhatikan perbedaan antara teori dan praktik, antara objek bahasa dan metabahasa, dan antara fakta-fakta hasil observasi dengan nilai-nilai yang dilekatkan pada fakta itu. Subjek harus selalu menyadari posisinya dalam masyarakat. Identitas tidak lagi terletak di antara dua konsep, melainkan tergantung pada relasi subjek dan objeknya, antara proses berpikir dan realitasnya.
Berdasarkan metode berpikir dialektis tersebut, Fredric Jameson mengungkapkan bahwa hakikat suatu karya sastra dapat diketahui dari penelitian tentang latar belakang historisnya. Kita tidak hanya sekedar ingin menangkap nilai-nilai yang sempit pada permukaan (seperti dilakukan kaum New Criticism), melainkan harus dapat menemukan hubungan orisinal antara Subjek dan Objek sesuai dengan kedudukannya (Culler, 1981:12-13). Jadi hasil kritik dialektikal itu bukan hanya sekedar suatu interpretasi sastra, melainkan juga sejarah model interpretasi dan kebutuhan akan suatu model interpretasi yang khusus.
Dalam bukunya The Political Unconscious: Narrative As a Socially SimhoUc Act (1981), Jameson mengusulkan interpretasi politik terhadap sastra. Perspektif politik ini tidak merupakan metode pelengkap atau tambahan pada metode lainnya (seperti: psikoanalisis, kritik mitos, stilistika, etika, strukturalisme) melainkan suatu pandangan politik yang absolut. Dasar pandangannya adalah bahwa setiap teks mengandung resonansi sosial, historis, dan polios. Dengan persepsi bahwa cerita hanyalah permukaan sebuah teks yang menguhur sejarahnya yang hakiki, maka pentinglah analisis mengenai 'ketaksadaran politis' dalam teks-teks sastra. Dalam setiap teks tercakup beragam operasi mental sehingga pemahaman dialektikal pun sifatnya tidak mutlak. Metode dialektika menempatkan karya sastra sebagai subjek yang mengandung totalitas masyarakatnya.
Jameson mengungkapkan kekecewaannya terhadap paradigma dan ohsesi intelektual paham strukturalisme selama kurun abad kedua puluh, yang ingin memikirkan persoalan-persoalan hidup dan totalitasnya melalui sarana bahasa dalam teks sastra (Eagleton, 1983:97). Menurut dia, bahasa hanya akan menjadi semacam penjara bagi persoalan hidup dan totalitasnya karena hidup dan permasalahannya terlalu luas untuk diwadahi oleh sarana bahasa.
Menurut Jameson, sebuah karya individual selalu merupakan bagian dari struktur yang lebih besar. Dengan demikian bentuk dan struktur karya individual harus selalu dipahami dalam dimensi sejarah, yang secara dominan dilandaskan pada dasar (infrastructure) ekonomi. Sekalipun faktor-faktor yang memengaruhi pengarang menuangkan gagasannya sangat beragam, namun kekuatan-kekuatan itu mempunyai satu hasis utama, yakni ekonomi. Ekonomi dan efek-efeknya merupakan taktor utama yang melahirkan suprastruktur: budaya, ideologi, filsafat, agama, hukum, bahkan pemerintah dan negara.
Manusia selalu berada dalam situasi 'ketaksadaran politik. Teks-teks sastra pun mengandung ketaksadaran politik, yang menawarkan strategi bagi pengbilangan kontradiksi-kontradiksi sejarah. Pengarang individual seolah dihius oleh ketaksadaran politik ini, sehingga dia secara tidak sadar mengungkapkan modus-modus heterogenitas di luar teks. Heterogenitas sosial mengakibatkan keberagaman teks. Dengan demikian tidak ada suatu kerangka referensi yang pasti dan mutlak yang diperlukan sebagai model acuan bagi eksplikasi tekstual. Setiap teks membutuhkan kategori-kategori eksplikasi tertentu sesuai dengan kekhususannya, dan sifatnya pun hanya sekedar menggambarkan saat tertentu.
Terry Eagleton juga seorang kritikus Neomarxis yang berusaha meng-hidupkan kembali kritik Marx di Inggris dan menghasilkan kritik impresif terhadap tradisi kritik Inggris melalui revolusi radikal perkembangan novel Inggris (Selden, 1991:42). Tugas utama kritik sastra, menurut dia, adalah mendefinisikan hubungan antara sastra dan ideologi, karena sastra tidak merupakan cerminan kenyataan melainkan mengandung efek ideologis yang nyata (Selden, 1991:43).
Pada bagian penutup bukunyaLiterary Theory: An Introduction (1985:194), Eagleton menyebut teori-teori sastra modem yang 'murni' sebagai mitos airaftemik yang melarikan diri dari kondisi huruk sejarah modern. Teori-teori itu, ironisnya, justru menjadi pelarian dari realitas menuju sejumlah alternatif tanpa batasan. Mereka bukannya terlihat dengan situasi konkret manusia, tetapi melarikan diri kepada puisi itu sendiri, masyarakat organik (yang bulat dan utuh, bukannya terpecah-pecah), kebenaranabadi, imajinasi, struktur pemikiran manusia, mitos, bahasa, dan sebagainya. Bagi Eagleton, alternatif-alteraatif pelarian itu lebih merupakan penipuan. Secara ironis, Eagleton menilai teori-teori itu sebagai proyek kaum Scrunity (= peneliti yang cermat), yang sudah saatnya ditinggalkan karena sukar, abstrak, dan absurd (Culler, 1988:57-68). Secara umum, Eagleton merasa kecewa terhadap ideologi borjuis yang telah terbukti menelantarkan kaum miskin dan lemah ke dalam marginalitas sosial politik.
Sebagaimana Jameson, Eagleton juga mengusulkan kritik politik. Menurut dia, politik adalah semua cara pengaturan kehidupan bermasyarakat yang meli-hatkan hubungan kekuasaan di dalamnya. Dalam kehidupan bermasyarakat selalu terlihat ideologi tertentu. Teori kritik sastra harus mendefinisikan model ideologi tersebut. Asumsi dasamya adalah sastra secara vital terlihat dalam kehidupan konkret manusia dan bukan sekedar gambaran abstrak (1985:196).
Seorang peneliti sastra harus membongkar gagasan-gagasan kesusastraan dan menempatkan ideologi yang berperan membentuk subjektivitas pembaca, dan lebih jauh menghasilkan efek-efek politis tertentu yang harangkali tidak diharapkan (Selden, 1991:45). Dia melinat bahwa kebanyakan studi sastra memulai pendekatan secara benar, tetapi kemudian gagal dalam melihat relevansi sosial-politiknya, lebih-lebih karena tidak ada relevansinya sama sekali dengan ideologi. Kebanyakan kritik sastra justru lebih memperkuat sistem-sistem kekuasaan daripada menentangnya.
8 Rangkuman
Teori-teori sosiologi sastra mempersoalkan kaitan antara karya sastra dan 'kenyataan'. Sebenarnya teori sosiologi sastra inilah yang paling tua usianya dalam sejarah kritik sastra. Dalam kenyataannya, teori yang sudah dirintis oleh filsafat Plato (Abad 4-3 SM) tentang 'mimesis' itu baru mulai dikembangkan pada abad 17-18 — yakni zaman positivisme ilmiah — oleh Hippolite Taine dan berkembang pesat pada awal abad ke-19 dengan dicanangkannya doktrin Manifesto Komunis oleh Marx dan Engels.
Studi-studi sosiologis terhadap sastra menghasilkan pandangan bahwa karya sastra dalam taraf tertentu merupakan ekspresi masyarakat dan bagian dari suatu masyarakat. Kenyataan inilah yang menarik perhatian para teoretisi sosiologi sastra untuk mencoba menjelaskan pola dan model hubungan resiprokal itu. Penjelasan Taine dengan menggunakan metode-metode ilmu pasti menarik perhatian, namun ciri positivistis dalam teorinya menimbulkan permasalahan yang rumit mengenai hakikat karya sastra sebagai 'karya fiksi'. Teori-teori Marxisme, yang memandang seni (sastra) sebagai 'alat perjuangan politik' terlalu menekankan aspek pragmatis sastra dan dalam banyak hal mengabaikan struktur karya sastra.
Pemikir-pemikir Neomarxis memanfaatkan filsafat dialektika materialisme Marx untuk mendefinisikan aspek ideologi, politik, dan hubungan ekonomi suatu masyarakat. Asumsi epistemologis mereka adalah bahwa sastra menyimpan sejarahnya yang sebenarnya dan menjadi tugas studi sastra untuk mendefinisikannya secara jelas.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS