TEGAK LURUS DENGAN LANGIT Oleh Iwan Simatupang

Tegak lurus dengan langit, ia berdiri di puncak bukit itu. Di kepalanya bulan sabit dari langit sebelum fajar. Di kakinya Tanah kemarau, tahun ini kelewat panjang. Dalam dadanya lesu dan bingung dari dendam yang terlalu lama dipendam, dan baru saja dapat dibalaskan.

Dia baru saja membunuh seseorang. Darah masih lekat di jari-jarinya. Belati masih ia genggam. Dia lari ke bukit itu, diburu tanya: Apa selanjutnya? Setelah berkali-kali belati itu ia dorong ke jantung sang korban.

Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Ia hanya tahu, sebentar lagi fajar akan kembang di langit. Sesudah itu, seperti 2x2 = 4, matahari bakal terbit. Belati ia lempar. Tangannya ia remas-remas. Dengan berbuat begitu, ia ingin pesiang tangannya dari gumpal-gumpal darah. Juga, ia ingin panaskan tangannya dan dengan itu tubuhnya. Dingin sebelum fajar menulang sumsum.

Dari desa di kaki bukit itu, mulai dia dengar suara-suara umat manusia yang bakal bangun. Suara dengkur di tepi lena. Suara mimpi-mimpi di babak akhirnya. Suara cumbu dan kasmaran keburu sempat. Suara di ambang hidup nyata sehari-hari.

Terpesona ia mendengarkan suara-suara tanpa definisi itu. Suara dari manusia, tanpa manusia terlihat dan berkata-kata. Suara tentang manusia. Suara yang ikut mencakup ikhwal tentang ia sendiri.

Ia telah membunuh seseorang. Siapa, apa alasannya, kurang jelas. Ia hanya tahu, dengan itu ia mungkin ingin balaskan peristiwa menghilangnya ayahnya dahulu semasa perang .... Satu hari, semasa perang, ayahnya tak pulang. Lewat seminggu, sebulan, setahun. Keluarganya memutuskan: ia hilang. Titik.

Mereka tak sadar, hilang adalah keadaan lebih parah lagi dari mati. Dari tewas. Duka oleh hilang tak boleh, tak pernah, tak pernah, penuh dan resmi. Esok lusa, si hilang bisa saja muncul kembali, segar bugar, tak kurang suatu apa. Bahkan, mungkin ia pulang bawa harta atau nama.

Tetapi, mereka sekeluarga kini sudah menunggu lebih 17 tahun. Ibunya dalam pada itu sudah meninggal pula. Pesannya, "Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Sampaikan juga, saya masih cin."

Hampir muntah ia mendengar sentimen film India begitu dari mulut ibunya sendiri. Bah! Pikirnya, ibu kandungku sendiri sampai napas terakhirnya pecandu film India.

Ibunya dikubur. Sejak itulah mulai sejarah bencinya terhadap ayahnya, yang tak sempat ia kenal. Ia tiga tahun ketika ayahnya hilang. Ayahnya, yang dengan hilangnya itu telah menciptakan kekacauan metafisis di kalangan keluarganya.

Ia dan kedua abangnya—mereka bertiga sesaudara—selama ini tak dapat menyebut diri yatim. Ibunya tak dapat menyebut dirinya janda. Oleh sebab itu, plat nama ayahnya masih saja tak mereka turunkan dari depan rumah. Surat, koran, kuitansi, formulir penetapan pajak, semuanya masih saja mendukung nama ayahnya.

Lebih pahit lagi adalah perkumpulan dan partai ayahnya, masih saja terus melakukan tagihan-tagihan iuran tiap bulan. Apa yang dapat mereka lakukan, selain membayarnya saja? Menolak membayar berarti menyuruh mereka menjawab sejumlah tanya yang demi kesentosaan batin mereka sebaiknya jangan mereka jawab dahulu. Jangan sekarang ini! Nanti, bila semua sudah jadi sejarah— termasuk jasad mereka sendiri—pertanyaan itu boleh saja diajukan. Yang menjawabnya nanti toh sejarah juga.

Jadilah keluarga ini keluarga aneh. Mereka tiap hari bertarung melawan sejarah. Sebab, salah satu dari sekian kenyataan pahit dalam pergaulan antarmanusia adalah manusia yang satu pada dasarnya tak dapat membiarkan sendirian manusia lainnya. Didorong-dorong oleh apa yang lazim disebut sebagai kesadaran manusia modern, sosiologi, sosialisme, demokrasi, tata krama, dan entah apa lagi, tiap manusia menganggap sebagai hak, bahkan kewajiban mereka untuk ikut-ikutan mencampuri urusan manusia lain. Celakalah makhluk yang mencoba-coba menentang kecenderungan zaman ini.

Suatu hari, datang ke rumah mereka petugas sensus. "Telah sekian tahun kita merdeka, katanya. Demi gengsi kita, sebagai negara dan bangsa berdaulat—ayo! jawab, siapa, di mana, kepala keluarga ini?”

Mereka sekeluarga melongo. Hantu yang selama ini berhasil mereka bendung di luar pagar rumah dan tempurung kepala mereka, kini duduk di kursi di kamar tengah, balpoin di tangannya, formulir putih di hadapan-nya, suaranya lantang, wajahnya penuh prosa PGP.

Singkatnya: petugas sensus itu telah melenyapkan keseimbangan yang selama ini berhasil dipertahankan keluarga itu. Kedua abangnya membunuh petugas itu, mereka ditangkap, dihukum seumur hidup di tempat pembuangan yang sangat jauh.

Seorang kenalan baik, duda setengah baya, amat kaya, sering datang main bridge dan halma, menyangka dapat berbuat baik terhadap keluarga itu dengan melamar si ibu. Kebaikannya begitu besarnya, hingga hal-hal seperti peri kemanusiaan, kesadaran sosial dan kebutuhan kelamin cukup disimpulkannya dalam hanya satu gagasan saja. Yakni: menghendaki istri dari kawan baiknya yang telah menghilang.

Si ibu melongo. Rohani dan jasmaninya kacau. Rohani: bagaimana perkawinan kembali seperti ini dapat ia benarkan secara hukum, adat, moral dan agama? Dia bukan janda. Di lemarinya tak ada ia simpan surat cerai maupun surat kematian suaminya. Jasmani: bagaimana kesempatan legal seperti kawin kembali ini dapat ia lewatkan begitu saja, sedangkan ia sendiri—betul tak muda benar lagi—masih sehat, cantik? Ia tak mau jadi hanya hormon bertumpuk saja ....

Suatu pagi, anak bungsu, tokoh kita, perlu sisir. Ia masuk bilik ibunya yang ada di ranjang sedang dipeluk dan dikecup habis-habisan oleh kenalan baik yang suka sering datang main bridge dan halma itu. Mereka bertiga serempak berteriak, Tokoh kita: terperanjat sangat, tak percaya, sangat putus asa.

Ibunya seharian menangis, meraung-raung. Petangnya, ia meninggal, setelah dalam gaya film India meninggalkan pesan padanya, "Kalau ayahmu pulang nanti, sampaikan salam saya. Dan sampaikan juga, saya masih cin ...."

Tetapi di balik seluruh kekacauan ini, kerangka masalah tokoh kita ini setidaknya telah punya beberapa tonggak pasti. (1) Dia kini piatu: ini tak dapat disangsikan lagi. (2) Kedua abangnya tak bakal pernah dilihatnya seumur hidup lagi. (3) Tinggal hanya ia sebatang kara saja dari seluruh keluarganya di dunia ini. (4) PS: Ayahnya masih saja sewaktu-waktu bisa datang, pulang ... mengetuk pintu, masuk, lalu membaca surat kabarnya, berbuat seolah tak ada kejadian apa-apa sama sekali selama ini.

Suatu hari, tokoh kita bertemu gadis, tunggang-langgang jatuh cinta padanya, kontan dilamarnya kawin, kontan dijawab ya, oleh si gadis.

Pesta disiapkan segera. Tetapi, sehari sebelum hari perkawinan, orang tua gadis berkeras ingin kenal orang tua mempelai laki-laki.

Kematian ibunya cepat ia ceritakan. Tetapi, kerongkongan-nya tersumbat ketika ia akan mulai tentang ayahnya. Apa yang harus dan dapat ia katakan? Ia berpendirian, perkawinan tak baik dimulai dengan bohong besar. Oleh sebab itu, ia ceritakan saja kejadian sebenarnya.

Mempelai laki-laki tak tahu, apakah ia pernah punya ayah atau tidak! Begitulah kesimpulan orang tua gadis mengenai gagasan "Ayahku hilang" itu. Mungkin ia anak gamnpang. Cinta adalah satu, tapi nama, terutama asal-usul yang baik, jelas, adalah lain, demikian kata mereka, membatalkan perkawinan, memasang advertensi di koran esoknya, minta maaf sebesarnya kepada para undangan yang sempat datang.

Bekas calon istrinya sejak itu jatuh sakit. Ia mulai batuk-batuk. Makin lama, makin kurus, makin pucat. Bulan lalu ia meninggal, di sanatorium penyakit paru-paru, juga setelah dalam gaya film India tinggalkan pesan baginya melalui juru rawat, "Sampaikan salam saya padanya. Sampaikan juga saya masih cin ...."

Sampai dengan di sini, masih dapat ia mengikuti dan memahami jalan peristiwa. Ia banyak membaca, mendengar, bahkan melihat sendiri keluarga yang terus-menerus dihantam nasib jelek, akhirnya lenyap sama sekali dari muka bumi, tak tinggalkan bekas apa-apa, kecuali kenangan keluarga-keluarga lainnya tentang mereka sebagai "keluarga malang". Apa boleh buat! Dewa-dewa di kayangan rupanya telah memperhitungkan ia masuk ke dalam keluarga seperti itu. Takdir tak dapat dibendung. Ia telah siapkan dirinya bagi perannya dalam babak terakhir tragedi keluarganya itu.

Tetapi, apa yang membuat konsentrasinya tentang drama dan tragedi keluarganya tadi tunggang-langgang, adalah kedatangan seorang laki-laki tua pagi tadi ke rumahnya. Ia ini ketuk pintu, masuk, duduk di kursi besar, baca surat kabar dan berkata dengan suara datar, "... Aku ayahmu."

Tokoh kita melongo. Tak dapat, tak ingin ia berkata apa. Apa, mana bukti ia ini benar ayahnya? Bila benar ia ayahnya, mengapa baru sekarang ia kembali? Ke mana, di mana ia selama ini? Peristiwa apa sembunyi di belakang hilangnya ia 17 tahun yang lalu? Adakah ia ikut perang, ditawan musuh dan baru dilepas sekarang? Seandainya ia tak ikut perang, pikiran fantastis mana yang telah menyergapnya untuk pergi menghilang begitu saja dari rumahnya 17 tahun lamanya? Adakah ia jadi pedagang pasar gelap? Penyelundup senjata gelap? Atau garong? Atau, pergi bertapa ke puncak salah satu gunung berapi?

Seribu satu tanya dapat ia ajukan. Seribu satu jawab dapat ia beri. Oleh sebab itulah ia putuskan diam saja. Lagipula, siapa tahu laki-laki tua ini bukan ayahnya sama sekali. Mungkin ia ini seorang penipu. Atau seorang sinting biasa saja yang ingin bikin gara-gara, lelucon cempulang.

Akan tetapi curiganya mulai timbul ketika laki-laki tua itu berdiri, pergi ke kamar yang selama ini dianggapnya sebagai kamar ayahnya, membuka lemari yang selama ini dianggapnya sebagai lemari pakaian ayahnya, mengambil satu stel pakaian dari dalamnya. Kemudian ia pergi mandi, di kamar mandi menyanyikan lagu-lagu kesukaan ibunya almarhumah. Selesai bersalin pakaian, ia duduk lagi di kursi besar tadi.

Tokoh kita diam saja. Orang tua itu tersenyum saja— senyum lembut orang tua—sedang matanya tajam memperhatikan tokoh kita terus.

Pandangan mata inilah terutama yang membuat tokoh kita bingung. Seolah kedua bola matanya adalah bara, berpijar hitam, masuk menerobos ke dalam seluruh tubuhnya. Terlebih, ada sesuatu yang khas pada mata itu. Ia menyerupai matanya sendiri! Juga menyerupai mata abangnya yang telah membunuh petugas sensus itu. Curiganya makin besar. Ulu hatinya nyeri. Darahnya berkali-kali tersirap. Bulu kuduknya tegak. Mata! Mata itu!

Ia sebenarnya telah siap dengan pembulatan satu kesimpulan dalam dirinya bahwa laki-laki tua yang duduk di hadapannya itu, adalah seorang penipu biasa saja—ketika pandangan mata mereka tiba-tiba saling bertemu. Laksana pola listrik sejenis, elektron-elektron kedua pasang bola mata itu saling bertolakan. Tokoh kita tertunduk! Ia kalah! Kedua bola matanya lari terbirit-birit ke motif-motif permadani di bawah telapak kakinya. Mata! Mata itu!

Itulah tanda pengenal yang paling ia takuti. Sebab hanya kedua abangnya sajalah selama ini yang sanggup menentang pandangan matanya. Dan ini adalah, oleh karena mata kedua abangnya itu sama saja dengan matanya sendiri. Bulat, hitam pekat, putihnya bening, kedipnya penuh wibawa, sinar yang dipijarkannya penuh melankoli, sekaligus kekerasan, yang berbatasan dengan kekejaman.

Tak pernah ada orang lain yang sanggup menantang pandangan mata mereka. Bahkan, ibu mereka sendiri tak dapat. Adalah pandangan mata demikian, kata ibunya, yang justru membuat ia jatuh cinta pada ayahnya. Ya, mereka bertiga mewarisi mata ayahnya.

Dan kini, salah seorang ahli waris itu duduk berhadapan dengan sang pewaris....

"Ayah!"

Hanya itu. Untuk selanjutnya, ia merangkul orang tua itu. Ia benamkan kepalanya dalam pangkuannya. Ia menangis. Orang tua itu kaku saja. Tampak ia keras sekali berusaha memerangi perasaannya. Sudut-sudut mulutnya yang sudah mulai keriput itu, ia rentangkan. Bibirnya ia peras kuat-kuat menjadi satu garis tipis yang kelewat lurus. Tangannya ia genggamkan erat-erat pada tangan kursi. Ia takut, kalau tangannya itu pergi menjalar, mengelus rambut ikal bergelombang yang diempaskan ke pangkuannya itu ....

Masih saja mereka tak berkata-kata. Dalam pada itu, mereka sudah makan siang, tidur siang, mandi sore, bersaling pakaian, menghirup teh sore. Kini mereka kembali duduk di ruang tengah, berhadap-hadapan, tak berkata satu apa. Tokoh kita tunduk, sedang orang tua itu terus saja memandanginya.

Tiba-tiba saja tokoh kita memutuskan bagi dirinya sendiri, tak dapat ia lanjutkan hidupnya begini. Yakni: tunduk tepekur saja memperhatikan motif-motif permadani di ubin. Teror yang datang menyorot dari kedua bola mata orang tua itu, tak ingin ia tanggungkan lebih lama lagi.

Ia telah menanggungkan nasib dari ranting terakhir satu keluarga yang ditakdirkan bakal lenyap sama sekali dari muka bumi ini. Ia bahkan telah sedia menerima tingkahan terhadap kutuk itu dengan misalnya menerima orang tua itu misalnya mungkin ayahnya sendiri, mungkin pula tidak.

Ya, kesedihannya besar sekali. Sebab telah ia putuskan untuk tak mau membangun kerangka-kerangka persoalan yang pelik lagi bagi dirinya sendiri, yang toh tak akan banyak berhasil memberi penyelesaian apa-apa baginya. Ia letih main catur melawan dirinya sendiri. Untuk selan-jutnya ia telah pilih sebagai filsafat hidupnya: me-remis-kan dirinya dengan hidup, termasuk dengan dirinya sendiri.

Tetapi terkutuk untuk seumur hidupnya; tak bakal berani lagi ia menatap jauh-jauh ke kaki langit, tak berani melihat ke puncak-puncak gunung dan bintang-bintang di langit, hanya oleh karena ada seorang tua mempunyai sepasang mata yang sama dengan matanya sendiri, dan oleh sebab itu tak sanggup ia tantang—tidak! Ia tidak mau, tak sedia!

Secepat kilat ia temui pada motif-motif permadani di bawah telapak kakinya itu jawaban bagi seluruh persoalannya. Kalau benarlah orang tua itu ayahnya, maka adalah orang tua ini juga telah menciptakan seluruh tragedi keluarganya itu. Dengan menghilangnya abangnya membunuh petugas sensus itu. Ia pulalah sebenarnya yang telah membuat ibunya terdampar ke dalam pelukan laki-laki kenalan baik mereka yang suka datang main bridge dan halma itu, dan lempang mengantarnya ke kubur.

Terlebih lagi: kalau ia ini ayahnya, maka adalah ayahnya ini juga yang telah bikin lebih parah kekacauan dalam dirinya kini dengan justru pulangnya ia sekarang ini.

Dan seandainya orang tua ini bukan ayahnya, tetapi cuma seorang penipu atau sinting biasa saja, maka efek kedatangannya ini masih tetap sama saja: ia telah mengingatkan tokoh kita, anak bungsu dan ranting terakhir keluarga yang terkutuk bakal lenyap dari permukaan bumi ini, kepada nasib yang sedang menanti dirinya.

Bahwa dirinya sudah dapat ia anggap mulai sekarang sebagai satu pengertian yang sebenarnya tak apa-apa lagi, dan oleh sebab itu sewaktu-waktu dapat ditiadakan, baik oleh kekuatan dari luar, maupun oleh dirinya sendiri, sudah jelas baginya kini. Mengenai ini, ia tak ragu-ragu lagi dalam dirinya sebenarnya juga sudah lama tersedia satu gagasan itu—walaupun diakuinya, aktualitas itu membuatnya agak menggigil juga.

Yang harus segera diselesaikannya dalam benaknya kini adalah, tafsiran apa selanjutnya dapat ia beri kepada kedatangan orang tua itu sendiri dalam kerangka gagasannya itu. Kalau ia tak salah dalam penilaiannya, orang tua inilah sebenarnya penyebab dari seluruh duka ceritanya, lepas dari persoalan benar atau tak benar ia ayahnya yang sesungguhnya. Selanjutnya, kalau ia juga tak salah dalam penilaian berikutnya, kedatangan orang tua ini kini sebenarnya hanyalah mungkin mempunyai satu arti saja. Yaitu, sebagai motif yang dapat mempercepat pelaksanaan gagasannya tadi!

Setelah selesai motif-motif pada permadani di bawah telapak kakinya di ubin itu—lingkaran-lingkaran spiral merah, kuning, biru—diedari matanya semua, selesailah ia mengatasi gamang yang berkecamuk selama bertahun-tahun ini dalam dirinya, dan yang barusan saja beroleh klimaknya dalam menit-menit terakhir ini.

Kini ia dapat bertindak. Harus bertindak! Satu ketenangan kosmis menyelubungi dirinya. Tiap keping dari napasnya, tiap fragmen dari perasaannya, pikirannya, pengideraannya, mulai kini adalah bagian dari satu perhitungan yang sangat teliti.

Ia pergi ke dapur. Diambilnya sebilah belati. Dia kembali. Tenang ia tantang pandangan mata orang tua itu. Orang tua itu tersenyum. Kemudian, tenang sekali, ia tikamkan belati itu ke dalam dada orang tua itu. Berkali-kali.

Orang tua itu rebah. Darahnya menutupi lingkaran-lingkaran spiral, merah, kuning, biru di permadani. Lama tokoh kita tegak memandangi mata mayat terbelalak itu. Seluruh peralihan sinarnya, dari bening hingga redup seperti susu keruh itu, disaksikannya. Akhirnya pelupuk mata redup itu dikatup-kannya. Tertutup! Tertutup sudah danau keruh itu!

Apa selanjutnya? Ia tak tahu. Tiba-tiba ia merasa dirinya seperti srigala hutan yang bingung, sebab danau tempat ia biasa minum, baru saja tertimbun tanah longsor. Ia menjalar sedahsyatnya. Seluruh isi hutan diam menggigil ketakutan. Kemudian ia lari.

Kenapa? Tak peduli. Pokoknya: lari. Kencang!

Pelan-pelan pada selimut langit terkuak warna putih abu-abu. Ke bumi memantul bayang mainan warna di langit ini. Bulan sabit miring ke tenggara. Angin daratan bertolak ke pantai. Kelelawar-kelelawar berpulangan ke pohonnya.

Sekali lagi ia remas-remas tangannya. Gumpal darah penghabisan ia jentikkan dari kuku kelingking kirinya. Ia tarik napas panjang.

Gagasannya kini telah selesai ia laksanakan. Ia puas. Nanti, setelah matahari terbit, ia akan pulang ke rumah, mandi, bersalin pakaian, sarapan pagi. Sesudah itu ia akan pergi ke kantor polisi.

Apabila ayam pertama berkokok nanti, senyum lebar kembang di wajahnya. Senyum yang sangat membebaskan. Tegaknya ia hadapkan pada matahari bakal terbit, tegak lurus dengan langit.***

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ADA APA DENGAN KALIAN - MUSTOFA BISRI

Kalian sibuk mengujarkan dan mengajarkan kalimat syahadat

Sambil terus mensekutukan diri kalian dengan Tuhan penuh semangat

Berjihad di jalan kalian

Berjuang menegakkan syariat kalian

Memerangi hamba hambaNya yang seharusnya kalian ajak ke jalanNya

Seolah olah kalian belum tahu bedanya

Antara mengajak yang diperintahkanNya

Dan memaksa yang dilarangNya

Kalian kibarkan Rasulurrahmah Al Amien dimana mana

Sambil menebarkan laknatan lil’aalamien kemana mana

Ada apa dengan kalian?

Mulut kalian berbuih akhirat

Kepala kalian tempat dunia yang kalian anggap nikmat

Ada apa dengan kalian?

Kalian bersemangat membangun masjid dan mushalla

Tapi malas memakmurkannya

Kalian bangga menjadi panitia zakat dan infak

Seolah olah kalian yang berzakat dan berinfak

Kalian berniat puasa di malam hari

Dan iman kalian ngeri

Melihat warung buka di siang hari

Kalian setiap tahun pergi umrah dan haji

Tapi kalian masih terus tega berlaku keji

Ada apa dengan kalian?

Demi menjaga tubuh dan perut kaum beriman dari virus keharaman

Kalian teliti dengan cermat semua barang dan makanan

Bumbu penyedap, mie, minyak, sabun, jajanan.

Rokok dan berbagai jenis minuman

Alkohol, minyak babi dan nikotin adalah najis dan setan

Yang mesti dibasmi dari kehidupan

Untuk itu kalian

Tidak hanya berkhotbah dan memasang iklan

Bahkan menyaingi pemerintah kalian

Menarik pajak produksi dan penjualan

Dan agar terkesan sakral

Kalian gunakan sebutan mulia, label halal

Tapi agaknya kalian melupakan setan yang lebih setan

Najis yang lebih menjijikkan

Virus yang lebih mematikan

Daripada virus alkohol, nikotin dan minyak babi

Bahkan lebih merajalela daripada epidemi

Bila karena merusak kesehatan, rokok kalian benci

Mengapa kalian diamkan korupsi yang merusak nurani

Bila karena memabokkan, alkohol kalian perangi

Mengapa kalian biarkan korupsi

Yang kadar memabokkannya jauh lebih tinggi?

Bila karena najis, babi kalian musuhi

Mengapa kalian abaikan korupsi

Yang lebih menjijikkan

Ketimbang kotoran seribu babi

Ada apa dengan kalian?

Kapan kalian berhenti membanguan kandang kandang babi

Di perut dan hati kalian dengan merusak kanan-kiri?

Sampai kalian mati dan dilaknati?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

IBU - D ZAWAWI IMRON

kalau aku merantau lalu datang musim kemarau

sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting

hanya mataair airmatamu ibu, yang tetap lancar mengalir

bila aku merantau

sedap kopyor susumu dan ronta kenakalanku

di hati ada mayang siwalan memutikkan sari-sari kerinduan

lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar

ibu adalah gua pertapaanku

dan ibulah yang meletakkan aku di sini

saat bunga kembang menyemerbak bau sayang

ibu menunjuk ke langit, kemundian ke bumi

aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudera

sempit lautan teduh

tempatku mandi, mencuci lumut pada diri

tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh

lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku

kalau aku ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan

namamu, ibu, yang kan kusebut paling dahulu

lantaran aku tahu

engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala

sesekali datang padaku

menyuruhku menulis langit biru

dengan sajakku.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kau Ini Bagaimana Atawa Aku Harus Bagaimana Oleh : Gus Mus

Kau ini bagaimana?

kau bilang aku merdeka, kau memilihkan untukku segalanya

kau suruh aku berpikir, aku berpikir kau tuduh aku kafir

aku harus bagaimana?

kau bilang bergeraklah, aku bergerak kau curigai

kau bilang jangan banyak tingkah, aku diam saja kau waspadai

kau ini bagaimana?

kau suruh aku memegang prinsip, aku memegang prinsip kau tuduh aku kaku

kau suruh aku toleran, aku toleran kau bilang aq plin plan

aku harus bagaimana?

aku kau suruh maju, aku mau maju kau selimbung kakiku

kau suruh aku bekerja, aku bekerja kau ganggu aku

kau ini bagaimana?

kau suruh aku takwa, khotbah keagamaanmu membuatku sakit jiwa

kau suruh aku mengikutimu, langkahmu tak jelas arahnya

aku harus bagaimana?

aku kau suruh menghormati hukum, kebijaksanaanmu menyepelekannya

aku kau suruh berdisiplin, kau mencontohkan yang lain

kau ini bagaimana?

kau bilang Tuhan sangat dekat, kau sendiri memanggil-manggilnya dengan pengeras suara tiap saat

kau bilang kau suka damai, kau ajak aku setiap hari bertikai

aku harus bagaimana?

aku kau suruh membangun, aku membangun kau merusakkannya

aku kau suruh menabung, aku menabung kau menghabiskannya

kau ini bagaimana?

kau suruh aku menggarap sawah, sawahku kau tanami rumah-rumah

kau bilang aku harus punya rumah, aku punya rumah kau meratakannya dengan tanah

aku harus bagaimana?

aku kau larang berjudi, permainan spekulasimu menjadi-jadi

aku kau suruh bertanggungjawab, kau sendiri terus berucap wallahu a’lam bissawab

kau ini bagaimana?

kau suruh aku jujur, aku jujur kau tipu aku

kau suruh aku sabar, aku sabar kau injak tengkukku

aku harus bagaimana?

aku kau suruh memilihmu sebagai wakilku, sudah kupilih kau bertindak sendiri semaumu

kau bilang kau selalu memikirkanku, aku sapa saja kau merasa terganggu

kau ini bagaimana?

kau bilang bicaralah, aku bicara kau bilang aku ceriwis

kau bilang jangan banyak bicara, aku bungkam kau tuduh aku apatis

aku harus bagaimana?

kau bilang kritiklah, aku kritik kau marah

kau bilang carikan alternatifnya, aku kasih alternatif kau bilang jangan mendikte saja

kau ini bagaimana?

aku bilang terserah kau, kau tidak mau

aku bilang terserah kita, kau tak suka

aku bilang terserah aku, kau memakiku

kau ini bagaimana?

atau aku harus bagaimana?

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

sajak rajawali - w.s. rendra

sebuah sangkar besi

tidak bisa mengubah rajawali

menjadi seekor burung nuri

rajawali adalah pacar langit

dan di dalam sangkar besi

rajawali merasa pasti

bahwa langit akan selalu menanti

langit tanpa rajawali

adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma

tujuh langit, tujuh rajawali

tujuh cakrawala, tujuh pengembara

rajawali terbang tinggi memasuki sepi

memandang dunia

rajawali di sangkar besi

duduk bertapa

mengolah hidupnya

hidup adalah merjan-merjan kemungkinan

yang terjadi dari keringat matahari

tanpa kemantapan hati rajawali

mata kita hanya melihat matamorgana

rajawali terbang tinggi

membela langit dengan setia

dan ia akan mematuk kedua matamu

wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

PUISI PESAN PENCOPET KEPADA PACARNYA – RENDRA

Sitti,

kini aku makin ngerti keadaanmu

Tak ‘kan lagi aku membujukmu

untuk nikah padaku

dan lari dari lelaki yang miaramu

Nasibmu sudah lumayan

Dari babu dari selir kepala jawatan

Apalagi?

Nikah padaku merusak keberuntungan

Masa depanku terang repot

Sebagai copet nasibku untung-untungan

Ini bukan ngesah

Tapi aku memang bukan bapak yang baik

untuk bayi yang lagi kau kandung

Cintamu padaku tak pernah kusangsikan

Tapi cinta cuma nomor dua

Nomor satu carilah keslametan

Hati kita mesti ikhlas

berjuang untuk masa depan anakmu

Janganlah tangguh-tangguh menipu lelakimu

Kuraslah hartanya

Supaya hidupmu nanti sentosa

Sebagai kepala jawatan lelakimu normal

suka disogok dan suka korupsi

Bila ia ganti kau tipu

itu sudah jamaknya

Maling menipu maling itu biasa

Lagi pula

di masyarakat maling kehormatan cuma gincu

Yang utama kelicinan

Nomor dua keberanian

Nomor tiga keuletan

Nomor empat ketegasan, biarpun dalam berdusta

Inilah ilmu hidup masyarakat maling

Jadi janganlah ragu-ragu

Rakyat kecil tak bisa ngalah melulu

Usahakan selalu menanjak kedudukanmu

Usahakan kenal satu menteri

dan usahakan jadi selirnya

Sambil jadi selir menteri

tetaplah jadi selir lelaki yang lama

Kalau ia menolak kau rangkap

sebagaimana ia telah merangkapmu dengan isterinya

itu berarti ia tak tahu diri

Lalu depak saja dia

Jangan kecil hati lantaran kurang pendidikan

asal kau bernafsu dan susumu tetap baik bentuknya

Ini selalu menarik seorang menteri

Ngomongmu ngawur tak jadi apa

asal bersemangat, tegas, dan penuh keyakinan

Kerna begitulah cermin seorang menteri

Akhirnya aku berharap untuk anakmu nanti

Siang malam jagalah ia

Kemungkinan besar dia lelaki

Ajarlah berkelahi

dan jangan boleh ragu-ragu memukul dari belakang

Jangan boleh menilai orang dari wataknya

Sebab hanya ada dua nilai: kawan atau lawan

Kawan bisa baik sementara

Sedang lawan selamanya jahat nilainya

Ia harus diganyang sampai sirna

Inilah hakikat ilmu selamat

Ajarlah anakmu mencapai kedudukan tinggi

Jangan boleh ia nanti jadi propesor atau guru

itu celaka, uangnya tak ada

Kalau bisa ia nanti jadi polisi atau tentara

supaya tak usah beli beras

kerna dapat dari negara

Dan dengan pakaian seragam

dinas atau tak dinas

haknya selalu utama

Bila ia nanti fasih merayu seperti kamu

dan wataknya licik seperti saya–nah!

Ini kombinasi sempurna

Artinya ia berbakat masuk politik

Siapa tahu ia bakal jadi anggota parlemen

Atau bahkan jadi menteri

Paling tidak hidupnya bakal sukses di Jakarta

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SIA-SIA - CHAIRIL ANWAR

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
darah dan suci.
Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

SAJAK YANG DEWASA - SUBAGIO SASTROWARDOYO

sajak yang dewasa
sudah tak peduli
apakah aku menangis atau ketawa

di muka cermin
aku tak mengenal lagi
ia bayangan siapa

setiap hendak kutangkap
ia lolos dari dekap
tak mau manampung rasa

di luar jamah
ia sebagian dari semesta
satu dengan suara manusia

setelah ia dewasa
aku tak punya kuasa
maka kubiarkan ia berjalan merdeka

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

ROBOHNYA SURAU KAMI - AA Navis (1956)

Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Melangkahlah menyusuri jalan raya arah ke barat. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengan segala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemunggahan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih dikenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah meminta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggalah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.

Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak dijaga lagi.

Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah kepada Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk di sampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tidak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang2-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pemeo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan jadi pemimpin berkelakukan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pemimpin tersebut kami sebut pemimpin katak.

Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek akan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi, "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggoroknya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya kalau aku masih mudah, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diriku kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."

Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah di sini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
"Sedari mudaku aku di sini, bukan? Tak kuingat punya istri, punya anak, punya keluarga seperti orang-orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. 'Alhamdulillah' kataku bila aku menerima karunia-Nya. 'Astagfirullah' kataku bila aku terkejut. 'Masya Allah', kataku bila aku kagum. Apakah salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."

Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku. "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi. Tapi aku lebih ingin mengetahui apa cerita Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.


"Pada suatu waktu,' kata Ajo Sidi memulai, 'di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah di mana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia dinamai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan dimasukkan ke surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan 'selamat ketemu nanti'. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.

Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
'Engkau?'
'Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.'
'Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.'
'Ya, Tuhanku.'
'Apa kerjamu di dunia?'
'Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.'
'Lain?'
'Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.'
'Lain?'
'Segala tegah-Mu kuhentikan, Tuhanku. Tak pernah aku berbuat jahat, walaupun dunia seluruhnya penuh oleh dosa-dosa yang dihumbalangkan iblis laknat itu.'
'Lain?'
'Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.'
'Lain?'

Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, bahwa pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum dikatakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.

'Lain lagi?' tanya Tuhan.
'Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Mahatahu.' Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.

Tapi Tuhan bertanya lagi: 'Tak ada lagi?'
'O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.'
'Lain?'
'Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang aku lupa katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah yang Mahatahu.'
'Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?'
'Ya, itulah semuanya, Tuhanku.'
'Masuk kamu.'
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia dibawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang dikehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.

Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.

'Bagaimana Tuhan kita ini?' kata Haji Saleh kemudian, 'Bukankah kita disuruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-Nya ke neraka.'
'Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,' kata salah seorang di antaranya.
'Ini sungguh tidak adil.'
'Memang tidak adil,' kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
'Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.'
'Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.'
'Benar. Benar. Benar.' Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
'Kalau Tuhan tidak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?' suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
'Kita protes. Kita resolusikan,' kata Haji Saleh.
'Apa kita revolusikan juga?' tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
'Itu tergantung pada keadaan,' kata Haji Saleh. 'Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.'
'Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita peroleh,' sebuah suara menyela.
'Setuju. Setuju. Setuju.' Mereka bersorak beramai-ramai.

Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan. Dan Tuhan bertanya, 'Kalian mau apa?'
Haji Saleh yang jadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama indah, ia memulai pidatonya: 'O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembah-Mu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, memprogandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikit pun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau masukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan kami ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam kitab-Mu.'

'Kalian di dunia tinggal di mana?' tanya Tuhan.
'Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.'
'O, di negeri yang tanahnya subur itu?'
'Ya benarlah itu, Tuhanku.'
'Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?'
'Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.'
Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.

'Di negeri di mana tanahnya begitu subur, hingga tanaman tumbuh tanpa ditanam?'
'Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.'
'Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?'
'Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.'
'Negeri yang lama diperbudak orang lain?'
'Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.'
'Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?'
'Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.'
'Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?'
'Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.'

'Engkau tetap rela melarat, bukan?'
'Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.'
'Karena kerelaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?'
'Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.'
'Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak dimasukkan ke hatinya, bukan?
'Ada, Tuhanku.'
'Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk disembah saja, hingga kerjamu lain tidak memuji-muji dan menyembahku saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!'

Semua pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang dikerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
'Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?' tanya Haji Saleh.
'Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat bersembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak istrimu sendiri, sehingga mereka kucar-kacir selamanya.

Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikitpun.' "


Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kaget.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.

"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab,
"dan sekarang ke mana dia?"
"Kerja"
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS