Rindu Pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta - taufik ismail

Rindu Pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta

(Dibacakan oleh Taufiq Ismail pada: Acara Deklarasi Gerakan Nasional

Pemberantasan Korupsi, Sumatera Barat, di Asrama Haji, Tabing, Padang,

tgl. 15 Ramadhan 1424 H/10 Nopember 2003 M)

I.

Di awal abad 21, pada suatu Subuh pagi aku berjalan kaki di Bukittinggi,

Hampir tak ada kabut tercantum di leher Singgalang dan Merapi, yang belum

dilangkahi matahari,

Lalu lintas kota kecil ini dapat dikatakan masih begitu sunyi,

Menurun aku di Janjang Ampek Puluah, melangkah ke Aue Tajungkang,

berhenti aku di depan rumah kelahiran Bung Hatta,

Di rumah beratap seng nomor 37 itulah, di awal abad 20, lahir seorang

bayi laki-laki yang kelak akan menuliskan alphabet cita-cita bangsa di

langit pemikirannya dan merancang peta Negara di atas prahara sejarah

manusianya,

Dia tak suka berhutang. Sahabat karibnya, Bung Karno, kepada

gergasi-gergasi dunia itu bahkan berteriak, "Masuklah kalian ke neraka

dengan uang yang kalian samarkan dengan nama bantuan, yang pada

hakekatnya hutang itu".

Suara lantang 39 tahun yang silam itu terapung di Ngarai Sianok, hanyut

di Kali Brantas, menyelam di Laut Banda, melintas di Selat Makassar,

hilang di arus Sungai Mahakam, kemudian tersangkut di tenggorokan 200

juta manusia,

Dua ratus juta manusia itu, terbelenggu rantai hutang di tangan dan kaki,

di abad kini. Petinggi negeri di lobi kantor Pusat Pegadaian Dunia duduk

antri, membawa kaleng kosong bekas cat minta sekedarnya diisi. Setiap

mereka pulang, hutang menggelombang, setiap bayi lahir langsung dua puluh

juta rupiah berkalung hutang, baru akan lunas dua generasi mendatang.

II.

Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, aku merenung di depan rumah beratap

seng di Aue Tajungkang nomor 37 ini, yang di awal abad 20 lalu tempat

lahir seorang bayi laki-laki

Aku mengenang negarawan jenius ini dengan rasa penuh hormat karena

rangkaian panjang mutiara sifat: tepat waktu, tunai janji, ringkas

bicara, lurus jujur, hemat serta bersahaja,

Angku Hatta, adakah garam sifat-sifat ini masuk ke dalam sup kehidupanku?

Kucatat dalam puisiku, Angku lebih suka garam dan tak gemar gincu.

Tujuh windu sudah berlalu, aku menyusun sebuah senarai perasaan rindu,

Rindu pada sejumlah sifat dan nilai, yang kini kita rasakan hancur

bercerai-berai,

Kesatuan sebagai bangsa, rasa bersama sebagai manusia Indonesia, ikatan

sejarah dengan pengalaman derita dan suka, inilah kerinduan yang luput

dari sekitar kita,

Kita rindu pada penampakan dan isi jiwa bersahaja, lurs yang tabung,

waktu yang tepat berdentang, janji yang tunai, kalimat yang ringkas

padat, tata hidup yang hemat,

Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta, pada stelan jas putih dan pantaloon

putihnya, symbol perlawanan pada disain hedonisme dunia, tidak sudi

berhutang, kesederhanaan yang berkilau gemilang,

Kesederhanaan. Ternyata aku tak bisa hidup bersahaja. Terperangkap dalam

krangkeng baja materialisme, boros dan jauh dari hemat, agenda serba

bendaku ditentukan oleh merek 1000 produk impor, iklan televise dan gaya

hidup imitasi,

Bicara ringkas. Susah benar aku melisankan fikiran secara padat. Agaknya

genetika Minang dalam rangkaian kromosomku mendiktekan sifat bicaraku

yang berpanjang-panjang. Angk Hatta, bagaimana Angku dapat bicara ringkas

dan padat? Teratur dan apik? Aku mengintip Angku pada suatu makan siang

di Jalan Diponegoro, yang begitu tertib dan resik,

Tepat waktu. Bung Hatta adalah tepat waktu untuk sebuah bangsa yang

selalu terlambat. Dari seribu rapat, sembilan ratus biasanya telat.

Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah ketika berbuka puasa.

Kelurusan dan kejujuran. Pertahanan apa yang mesti dibangun di dalam

sebuah pribadi supaya orang bisa selalu jujur? Jujur dalam masalah

rezeki, jujur kepada isteri, jujur kepada suami, jujur kepada diri

sendiri, jujur kepada orang banyak, yang bernama rakyat? Rakyat yang di

tipu terus-menerus itu.

Ketika kita rindu bersangatan kepada sepasang jas putih dan pantaloon

putih itu, kita mohonkan kepada Tuhan, semoga nilai-nilai dan sifat-sifat

luhur yang telah hancur berantakan, kepada kita utuh dikembalikan.

III.

Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, di depan rumah beratap seng di Aue

Tajungkang nomor 37 ini aku menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian aku

masuk ke dalamnya, dan di ruang tamu menatap potret dinding aku berdiri,

Tampaklah Bung Hatta di antara rakyat banyak dalam gambar itu. Tiba-tiba

Bung Hatta keluar dari gambar sepia itu.

Kemudian Bung Hatta berkata: "Ceritakan Indonesia kini menurut kamu"

Aku tergagap bicara. ^Angku, mangadu ambo kini. Angku, saya mengadu

kini. Krisis berlapis-lapis bagaikan tak habis-habis. Krisis ekonomi,

politik, penegakan hokum, pendidikan, pengangguran, kemiskinan, keamanan,

kekerasan, pertumpahan darah, pemecah-belahan, dan di atas semua itu,

krisis akhlak bangsa,

"Otoritarianisme panjang menyuburkan perilaku materialistic, tamak,

serakah, tipu-menipu, konspiratif, mengutamakan keluarga dekat,

memenangkan golongan sendiri, dan tingkah laku feodalistik,

Krisis nilai luhur merubah potret wajah bangsa menjadi anarkis,

bringas, ganas, tak bersedia kalah, tak segan memfitnah, memaksakan

kehendak, pendendam, perusak, pembakar dan pembunuh. Kekerasan, api,

batu, peluru, puing mayat, asap dan bom sampai ke seluruh muka bumi,

Tetapi tentang bom itu, nanti dulu. Sepuluh dua puluh tahun lagi,

lihat, akan terungkap apa sebenarnya sandiwara besar skenario dunia yang

dipaksakan hari ini. Mentang-mentang.

Aku menarik nafas. Bung Hatta diam. Tak ada senyum di wajahnya

Angku Hatta. Harga apa saja di Indonesia naik semua, kecuali satu.

Harga nyawa. Nyawa murah dan luar biasa jatuh nilainya. Di setiap demo

orang mati. Tahanan polisi gampang mati. Pencuri motor dibakar mati.

Anak-anak sekolah belasan tahun dalam tawuran, tanpa rasa salah dengan

ringan membunuh temannya lain sekolah. Mahasiswa senior yang garang

menggasak, menggampar, menyiksa juniornya sampai mati. Tahun depan

pembunuhan di kampus lain di ulang lagi. Dendam dipelihara dan

diturunkan"

Sesak nafasku. Bung Hatta diam. Matanya merenung jauh.

Alkohol, nikotin, judi, madat, putau, ganja dan sabu-sabu telah meruyak

dan mencengkeram negeri kita, mudah dibeli di tepi jalan, di sekolah, di

mana-mana. Indonesia telah menjadi sorga pornografi paling murah di

dunia. Dengan uang sepuluh ribu anak SLTP dengan mudah bisa membeli VCD

coitus lelaki-perempuan kulit putih 60 menit, 6 posisi dan 6 warna.

Anak-anak SD membaca komik cabul dari Jepang. Di televisi peselingkuhan

dianjurkan dan diajarkan."

Gelombang hidup permisif, gaya serba boleh ini melanda penulis-penulis pula.

Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabul-cabulkan karya,

asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dan kompetisi Gerakan

Syahwat Merdeka. Betapa tekun mereka melakukan rekonstruksi dan

dekonstruksi daftar instruksi posisi syahwat selangkangan abad 21 yang

posmo perineum ini.

Dari uap alkohol, asap nikotin dan narkoba, dari bau persetubuhan liar

20 juta keeping VCD biru, dari halaman-halaman komik dan buku cabul

menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus terlantar tiga

hari di selokan pasar desa ke seluruh negeri.

Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu

aku memikirkannya"

Jan aku tenan isin sakpore, sakpore, isin buanget dadi wong Indonesia,

Lek asane dadi nak Indonesia,

Masiripka mancaji to Indonesia,

Jelema Indonesia? Eraeun urang, eraeun,

Malu ambo, sabana malu jadi urang Indonesia,!(*)

Malu aku jadi orang Indonesia.

(*) Bahasa Jawa, Bali, Bugis, Sunda dan Minangkabau.

Aku berhenti bicara. Bung Hatta masih tetap diam. Matanya merenung sangat

jauh. Tiba-tiba bayangan wajahnya menghilang.

IV

Indonesia tersaruk-saruk.

Terpincang-pincang dan sempoyongan,

Dicambuki krisis demi krisis seperti tak habis-habis.

Indonesia kini sedang menangis.

Dari status Negeri Cobaan,

Dia turun derajat menjadi Negeri Azab,

Dan kini sedang bergerak merosot kearah Negeri Kutukan.

Indonesia tak habis-habis menangis.

Kusut, masai,

Nestapa, duka,

Pengap dan gelap.

Dari dalam sumur berlumpur ini,

Dari dasar tubir yang menyesakkan nafas ini

Kami menengadah ke atas,

Masih melihat sepotong langit

Dan mengharapkan cahaya.

Kami tetap berikhtiar,

Terus bekerja keras

Seraya menggumamkan doa.

Tuhan,

Jangan biarkan negeri kami

Yang kini sudah menjadi Negeri Azab,

Bergerak merosot kea rah Negeri Kutukan.

Tuhan,

Mohon,

Jangan ditolak

Do'a kami.

2003


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar