Bismillahirrahmanirrahim
Brenti mengalir darahku menyimak firmanMu
Idzaa zulzilatil-ardlu zilzaalahaa
Wa akhrajatil-ardlu atsqaalahaa
Waqaalal-insaanu maa lahaa
(ketika bumi diguncang dengan dasyatnya
Dan bumi memuntahkan isi perutnya
Dan manusia bertanya-tanya: Bumi itu kenapa?
Yaumaidzin tuhadditsu akhbaarahaa
Bianna Rabbaka auhaa lahaa
Yaumaidzin yashdurun-naasu asytaatan
Liyurau a’maalahum
(Ketika itu bumi mengisahkan kisah-kisahnya
Karena Tuhanmu mengilhaminya
Ketika itu manusia tumpah terpisah-pisah
‘Tuk diperlihatkan perbuatan-perbuatan mereka)
Faman ya’mal mitsqaala dzarratin khairan yarah
Waman ya’mal mitsqaala dzarratin syarran yarah
(Maka siapa yang berbuat sezarrah kebaikan pun akan melihatnya
Dan siapa yang berbuat sezarrah kejahatan pun akan melihatnya)
Ya Tuhan, akukah insane yang bertanya-tanya
Ataukah aku mukmin yang sudah tahu jawabnya?
Kulihat tetes diriku dalam muntahan isi bumi
Aduhai, akan kemanakah kiranya bergulir?
Diantara tumpukan maksiat yang kutimbun saat demi saat
Akankah kulihat sezarrah saja
Kebaikan yang pernah kubuat?
Nafasku memburu diburu firmanMu
Dengan asma Allah Yang Pengasih Penyayang
Wa’aadiyaati dlabhan
Falmuuriyaati qadhan
Fa-atsarna bihi naq’an
Fawasathna bihi jam’an
(Demi yang sama terpacu berdengkusan
Yang sama mencetuskan api berdenyaran
Yang pagi-pagi melancarkan serbuan
Menerbangkan debu berhamburan
Dan menembusnya ke tengah-tengah pasukan lawan)
Innal-insana liRabbihi lakanuud
Wainnahu ‘alaa dzaalika lasyahied
Wainnahu lihubbil-khairi lasyadied
(Sungguh manusia itu kepada Tuhannya Sangat tidak tahu berterima kasih
Sunggunh manusia itu sendiri tentang itu menjadi saksi
Dan sungguh manusia itu sayangnya kepada harta
Luar biasa)
Afalaa ya’lamu idza bu’tsira maa fil-qubur
Wahushshila maa fis-shuduur
Inna Rabbahum bihim yaumaidzin lakhabier
(Tidakkah manusia itu tahu saat isi kubur dihamburkan
Saat ini dada ditumpahkan?
Sungguh Tuhan mereka
Terhadap mereka saat itu tahu belaka!)
Ya Tuhan,
kemana gerangan butir debu ini ‘kan menghambur?
Adakah secercah syukur menempel
Ketika isi dada dimuntahkan
Ketika semua kesayangan dan andalan entah kemana?
Meremang bulu romaku diguncang firmanMu
Bismillahirrahmaanirrahim
Al-Quaari’atu
Mal-qaari’ah
Wamaa adraaka mal-qaari’ah
(Penggetar hati
Apakah penggetar hati itu?
Tahu kau apa itu penggetar hati?)
Resah sukmaku dirasuk firmanMu
Yauma yakuunun-naasu kal-faraasyil-mabtsuts
Watakuunul-jibaalu kal’ihnil-manfusy
(Itulah hari manusia bagaikan belalang bertebaran
dan gunung-gunung bagaikan bulu dihambur-terbangkan)
Menggigil ruas-ruas tulangku dalam firmanMu
Waammaa man tsaqulat mawaazienuhu
Fahuwa fii ‘iesyatir-raadliyah
Waammaa man khaffat mawaazienuhu faummuhu haawiyah
Wamaa adraaka maa hiyah Naarun haamiyah
(Nah barangsiapa berbobot timbangan amalnya
Ia akan berada dalam kehidupan memuaskan
Dan barangsiapa enteng timbangan amalnya
Tempat tinggalnya di Hawiyah
Tahu kau apa itu?
Api yang sangat panas membakar!)
Ya Tuhan
kemanakah gerangan belalang malang ini ‘kan terkapar?
Gunung amal yang dibanggakan
Jadikah selembar bulu saja memberati timbangan
Atau gunung-gunung dosa akan melumatnya
Bagi persembahan lidah Hawiyah?
Ataukah,
o, kalau saja maharahmatMu
Akan menerbangkannya ke lautan ampunan
Shadaqallahul’ Adhiem
Telah selesai ayat-ayat dibaca
Telah sirna gema-gema sari tilawahnya
Marilah kita ikuti acara selanjutnya
Masih banyak urusan dunia yang belum selesai
Masih banyak kepentingan yang belum tercapai
Masih banyak keinginan yang belum tergapai
Marilah kembali berlupa
Insya Allah Kiamat masih lama.
Amien.
Gus Mus – Tadarus
Tuhan Sembilan Senti - taufik ismail
Tuhan Sembilan Senti
Indonesia adalah sorga luar biasa ramah bagi perokok, tapi tempat siksa
tak tertahankan bagi orang yang tak merokok,
Di sawah petani merokok, di pabrik pekerja merokok, di kantor pegawai
merokok, di kabinet menteri merokok, di reses parlemen anggota DPR
merokok, di Mahkamah Agung yang bergaun toga merokok,
hansip-bintara-perwira nongkrong merokok, di perkebunan pemetik buah kopi
merokok, di perahu nelayan penjaring ikan merokok, di pabrik petasan
pemilik modalnya merokok, di pekuburan sebelum masuk kubur orang merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi perokok,
tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Di balik pagar SMU murid-murid mencuri-curi merokok, di ruang kepala
sekolah ada guru merokok, di kampus mahasiswa merokok, di ruang kuliah
dosen merokok, di rapat POMG orang tua murid merokok, di perpustakaan
kecamatan ada siswa bertanya apakah ada buku tuntunan cara merokok,
Di angkot Kijang penumpang merokok, di bis kota sumpek yang berdiri yang
duduk orang bertanding merokok, di loket penjualan karcis orang merokok,
di kereta api penuh sesak orang festival merokok, di kapal penyeberangan
antar pulau penumpang merokok, di andong Yogya kusirnya merokok, sampai
kabarnya kuda andong minta diajari pula merokok,
Negeri kita ini sungguh nirwana kayangan para dewa-dewa bagi perokok, tapi
tempat cobaan sangat berat bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,
Di pasar orang merokok, di warung Tegal pengunjung merokok, di restoran di
toko buku orang merokok, di kafe di diskotik para pengunjung merokok,
Bercakap-cakap kita jarak setengah meter tak tertahankan abab rokok,
bayangkan isteri-isteri yang bertahun-tahun menderita di kamar tidur
ketika melayani para suami yang bau mulut dan hidungnya mirip asbak rokok,
Duduk kita di tepi tempat tidur ketika dua orang bergumul saling
menularkan HIV-AIDS sesamanya, tapi kita tidak ketularan penyakitnya.
Duduk kita disebelah orang yang dengan cueknya mengepulkan asap rokok di
kantor atau di stopan bus, kita ketularan penyakitnya. Nikotin lebih jahat
penularannya ketimbang HIV-AIDS,
Indonesia adalah sorga kultur pengembangbiakan nikotin paling subur di
dunia, dan kita yang tak langsung menghirup sekali pun asap tembakau itu,
bisa ketularan kena,
Di puskesmas pedesaan orang kampung merokok, di apotik yang antri obat
merokok, di panti pijat tamu-tamu disilahkan merokok, di ruang tunggu
dokter pasien merokok, dan ada juga dokter-dokter merokok,
Istirahat main tenis orang merokok, di pinggir lapangan voli orang
merokok, menyandang raket badminton orang merokok, pemain bola PSSI
sembunyi-sembunyi merokok, panitia pertandingan balap mobil, pertandingan
bulutangkis, turnamen sepakbola mengemis-ngemis mencium kaki sponsor
perusahaan rokok,
Di kamar kecil 12 meter kubik, sambil 'ek-'ek orang goblok merokok, di
dalam lift gedung 15 tingkat dengan tak acuh orang goblok merokok, di
ruang sidang ber-AC penuh, dengan cueknya, pakai dasi, orang-orang goblok
merokok,
Indonesia adalah semacam firdaus-jannatu-na'im sangat ramah bagi orang
perokok, tapi tempat siksa kubur hidup-hidup bagi orang yang tak merokok,
Rokok telah menjadi dewa, berhala, tuhan baru, diam-diam menguasai kita,
Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh, duduk sejumlah ulama terhormat
merujuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fatwa. Mereka ulama ahli
hisap. Haasaba, yuhaasibu, hisaaban. Bukan ahli hisab ilmu falak, tapi
ahli hisap rokok. Di antara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip
berhala-berhala kecil, sembilan senti panjangnya, putih warnanya, ke
mana-mana dibawa dengan setia, satu kantong dengan kalung tasbih 99
butirnya,
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang, tampak kebanyakan mereka
memegang rokok dengan tangan kanan, cuma sedikit yang memegang dengan
tangan kiri. Inikah gerangan pertanda yang terbanyak kelompok ashabul
yamiin dan yang sedikit golongan ashabus syimaal?
Asap rokok mereka mengepul-ngepul di ruangan AC penuh itu. Mamnu'ut
tadkhiin, ya ustadz. Laa tasyrabud dukhaan, ya ustadz. Kyai, ini ruangan
ber-AC penuh. Haadzihi al ghurfati malii'atun bi mukayyafi al hawwa'i.
Kalau tak tahan, di luar itu sajalah merokok. Laa taqtuluu anfusakum.
Min fadhlik, ya ustadz. 25 penyakit ada dalam khamr. Khamr diharamkan. 15
penyakit ada dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan. 4000
zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?
Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuharrimu 'alayhimul khabaaith.
Mohon ini direnungkan tenang-tenang, karena pada zaman Rasulullah dahulu,
sudah ada alkohol, sudah ada babi, tapi belum ada rokok.
Jadi ini PR untuk para ulama. Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok,
lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan,
Para ulama ahli hisap itu terkejut mendengar perbandingan ini. Banyak yang
diam-diam membunuh tuhan-tuhan kecil yang kepalanya berapi itu, yaitu
ujung rokok mereka. Kini mereka berfikir. Biarkan mereka berfikir. Asap
rokok di ruangan ber-AC itu makin pengap, dan ada yang mulai
terbatuk-batuk,
Pada saat sajak ini dibacakan malam hari ini, sejak tadi pagi sudah 120
orang di Indonesia mati karena penyakit rokok. Korban penyakit rokok lebih
dahsyat ketimbang korban kecelakaan lalu lintas, lebih gawat ketimbang
bencana banjir, gempa bumi dan longsor, cuma setingkat di bawah korban
narkoba,
Pada saat sajak ini dibacakan, berhala-berhala kecil itu sangat berkuasa
di negara kita, jutaan jumlahnya, bersembunyi di dalam kantong baju dan
celana, dibungkus dalam kertas berwarni dan berwarna, diiklankan dengan
indah dan cerdasnya,
Tidak perlu wudhu atau tayammum menyucikan diri, tidak perlu ruku' dan
sujud untuk taqarrub pada tuhan-tuhan ini, karena orang akan khusyuk dan
fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap
tuhan-tuhan ini,
Rabbana, beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.
****
Rindu Pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta - taufik ismail
Rindu Pada Stelan Jas Putih dan Pantalon Putih Bung Hatta
(Dibacakan oleh Taufiq Ismail pada: Acara Deklarasi Gerakan Nasional
Pemberantasan Korupsi, Sumatera Barat, di Asrama Haji, Tabing, Padang,
tgl. 15 Ramadhan 1424 H/10 Nopember 2003 M)
I.
Di awal abad 21, pada suatu Subuh pagi aku berjalan kaki di Bukittinggi,
Hampir tak ada kabut tercantum di leher Singgalang dan Merapi, yang belum
dilangkahi matahari,
Lalu lintas kota kecil ini dapat dikatakan masih begitu sunyi,
Menurun aku di Janjang Ampek Puluah, melangkah ke Aue Tajungkang,
berhenti aku di depan rumah kelahiran Bung Hatta,
Di rumah beratap seng nomor 37 itulah, di awal abad 20, lahir seorang
bayi laki-laki yang kelak akan menuliskan alphabet cita-cita bangsa di
langit pemikirannya dan merancang peta Negara di atas prahara sejarah
manusianya,
Dia tak suka berhutang. Sahabat karibnya, Bung Karno, kepada
gergasi-gergasi dunia itu bahkan berteriak, "Masuklah kalian ke neraka
dengan uang yang kalian samarkan dengan nama bantuan, yang pada
hakekatnya hutang itu".
Suara lantang 39 tahun yang silam itu terapung di Ngarai Sianok, hanyut
di Kali Brantas, menyelam di Laut Banda, melintas di Selat Makassar,
hilang di arus Sungai Mahakam, kemudian tersangkut di tenggorokan 200
juta manusia,
Dua ratus juta manusia itu, terbelenggu rantai hutang di tangan dan kaki,
di abad kini. Petinggi negeri di lobi kantor Pusat Pegadaian Dunia duduk
antri, membawa kaleng kosong bekas cat minta sekedarnya diisi. Setiap
mereka pulang, hutang menggelombang, setiap bayi lahir langsung dua puluh
juta rupiah berkalung hutang, baru akan lunas dua generasi mendatang.
II.
Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, aku merenung di depan rumah beratap
seng di Aue Tajungkang nomor 37 ini, yang di awal abad 20 lalu tempat
lahir seorang bayi laki-laki
Aku mengenang negarawan jenius ini dengan rasa penuh hormat karena
rangkaian panjang mutiara sifat: tepat waktu, tunai janji, ringkas
bicara, lurus jujur, hemat serta bersahaja,
Angku Hatta, adakah garam sifat-sifat ini masuk ke dalam sup kehidupanku?
Kucatat dalam puisiku, Angku lebih suka garam dan tak gemar gincu.
Tujuh windu sudah berlalu, aku menyusun sebuah senarai perasaan rindu,
Rindu pada sejumlah sifat dan nilai, yang kini kita rasakan hancur
bercerai-berai,
Kesatuan sebagai bangsa, rasa bersama sebagai manusia Indonesia, ikatan
sejarah dengan pengalaman derita dan suka, inilah kerinduan yang luput
dari sekitar kita,
Kita rindu pada penampakan dan isi jiwa bersahaja, lurs yang tabung,
waktu yang tepat berdentang, janji yang tunai, kalimat yang ringkas
padat, tata hidup yang hemat,
Tiba-tiba kita rindu pada Bung Hatta, pada stelan jas putih dan pantaloon
putihnya, symbol perlawanan pada disain hedonisme dunia, tidak sudi
berhutang, kesederhanaan yang berkilau gemilang,
Kesederhanaan. Ternyata aku tak bisa hidup bersahaja. Terperangkap dalam
krangkeng baja materialisme, boros dan jauh dari hemat, agenda serba
bendaku ditentukan oleh merek 1000 produk impor, iklan televise dan gaya
hidup imitasi,
Bicara ringkas. Susah benar aku melisankan fikiran secara padat. Agaknya
genetika Minang dalam rangkaian kromosomku mendiktekan sifat bicaraku
yang berpanjang-panjang. Angk Hatta, bagaimana Angku dapat bicara ringkas
dan padat? Teratur dan apik? Aku mengintip Angku pada suatu makan siang
di Jalan Diponegoro, yang begitu tertib dan resik,
Tepat waktu. Bung Hatta adalah tepat waktu untuk sebuah bangsa yang
selalu terlambat. Dari seribu rapat, sembilan ratus biasanya telat.
Kegiatanku yang tepat waktu satu-satunya ialah ketika berbuka puasa.
Kelurusan dan kejujuran. Pertahanan apa yang mesti dibangun di dalam
sebuah pribadi supaya orang bisa selalu jujur? Jujur dalam masalah
rezeki, jujur kepada isteri, jujur kepada suami, jujur kepada diri
sendiri, jujur kepada orang banyak, yang bernama rakyat? Rakyat yang di
tipu terus-menerus itu.
Ketika kita rindu bersangatan kepada sepasang jas putih dan pantaloon
putih itu, kita mohonkan kepada Tuhan, semoga nilai-nilai dan sifat-sifat
luhur yang telah hancur berantakan, kepada kita utuh dikembalikan.
III.
Jalan kaki pagi-pagi di Bukittinggi, di depan rumah beratap seng di Aue
Tajungkang nomor 37 ini aku menengok ke kanan dan ke kiri, kemudian aku
masuk ke dalamnya, dan di ruang tamu menatap potret dinding aku berdiri,
Tampaklah Bung Hatta di antara rakyat banyak dalam gambar itu. Tiba-tiba
Bung Hatta keluar dari gambar sepia itu.
Kemudian Bung Hatta berkata: "Ceritakan Indonesia kini menurut kamu"
Aku tergagap bicara. ^Angku, mangadu ambo kini. Angku, saya mengadu
kini. Krisis berlapis-lapis bagaikan tak habis-habis. Krisis ekonomi,
politik, penegakan hokum, pendidikan, pengangguran, kemiskinan, keamanan,
kekerasan, pertumpahan darah, pemecah-belahan, dan di atas semua itu,
krisis akhlak bangsa,
"Otoritarianisme panjang menyuburkan perilaku materialistic, tamak,
serakah, tipu-menipu, konspiratif, mengutamakan keluarga dekat,
memenangkan golongan sendiri, dan tingkah laku feodalistik,
Krisis nilai luhur merubah potret wajah bangsa menjadi anarkis,
bringas, ganas, tak bersedia kalah, tak segan memfitnah, memaksakan
kehendak, pendendam, perusak, pembakar dan pembunuh. Kekerasan, api,
batu, peluru, puing mayat, asap dan bom sampai ke seluruh muka bumi,
Tetapi tentang bom itu, nanti dulu. Sepuluh dua puluh tahun lagi,
lihat, akan terungkap apa sebenarnya sandiwara besar skenario dunia yang
dipaksakan hari ini. Mentang-mentang.
Aku menarik nafas. Bung Hatta diam. Tak ada senyum di wajahnya
Angku Hatta. Harga apa saja di Indonesia naik semua, kecuali satu.
Harga nyawa. Nyawa murah dan luar biasa jatuh nilainya. Di setiap demo
orang mati. Tahanan polisi gampang mati. Pencuri motor dibakar mati.
Anak-anak sekolah belasan tahun dalam tawuran, tanpa rasa salah dengan
ringan membunuh temannya lain sekolah. Mahasiswa senior yang garang
menggasak, menggampar, menyiksa juniornya sampai mati. Tahun depan
pembunuhan di kampus lain di ulang lagi. Dendam dipelihara dan
diturunkan"
Sesak nafasku. Bung Hatta diam. Matanya merenung jauh.
Alkohol, nikotin, judi, madat, putau, ganja dan sabu-sabu telah meruyak
dan mencengkeram negeri kita, mudah dibeli di tepi jalan, di sekolah, di
mana-mana. Indonesia telah menjadi sorga pornografi paling murah di
dunia. Dengan uang sepuluh ribu anak SLTP dengan mudah bisa membeli VCD
coitus lelaki-perempuan kulit putih 60 menit, 6 posisi dan 6 warna.
Anak-anak SD membaca komik cabul dari Jepang. Di televisi peselingkuhan
dianjurkan dan diajarkan."
Gelombang hidup permisif, gaya serba boleh ini melanda penulis-penulis pula.
Penulis-penulis perempuan, muda usia, berlomba mencabul-cabulkan karya,
asyik menggarap wilayah selangkang dan sekitarnya dan kompetisi Gerakan
Syahwat Merdeka. Betapa tekun mereka melakukan rekonstruksi dan
dekonstruksi daftar instruksi posisi syahwat selangkangan abad 21 yang
posmo perineum ini.
Dari uap alkohol, asap nikotin dan narkoba, dari bau persetubuhan liar
20 juta keeping VCD biru, dari halaman-halaman komik dan buku cabul
menyebar hawa lendir yang mirip aroma bangkai anak tikus terlantar tiga
hari di selokan pasar desa ke seluruh negeri.
Aku melihat orang-orang menutup hidung dan jijik karenanya. Jijik. Malu
aku memikirkannya"
Jan aku tenan isin sakpore, sakpore, isin buanget dadi wong Indonesia,
Lek asane dadi nak Indonesia,
Masiripka mancaji to Indonesia,
Jelema Indonesia? Eraeun urang, eraeun,
Malu ambo, sabana malu jadi urang Indonesia,!(*)
Malu aku jadi orang Indonesia.
(*) Bahasa Jawa, Bali, Bugis, Sunda dan Minangkabau.
Aku berhenti bicara. Bung Hatta masih tetap diam. Matanya merenung sangat
jauh. Tiba-tiba bayangan wajahnya menghilang.
IV
Indonesia tersaruk-saruk.
Terpincang-pincang dan sempoyongan,
Dicambuki krisis demi krisis seperti tak habis-habis.
Indonesia kini sedang menangis.
Dari status Negeri Cobaan,
Dia turun derajat menjadi Negeri Azab,
Dan kini sedang bergerak merosot kearah Negeri Kutukan.
Indonesia tak habis-habis menangis.
Kusut, masai,
Nestapa, duka,
Pengap dan gelap.
Dari dalam sumur berlumpur ini,
Dari dasar tubir yang menyesakkan nafas ini
Kami menengadah ke atas,
Masih melihat sepotong langit
Dan mengharapkan cahaya.
Kami tetap berikhtiar,
Terus bekerja keras
Seraya menggumamkan doa.
Tuhan,
Jangan biarkan negeri kami
Yang kini sudah menjadi Negeri Azab,
Bergerak merosot kea rah Negeri Kutukan.
Tuhan,
Mohon,
Jangan ditolak
Do'a kami.
2003